BAB 1
PENGUJIAN TARIK
1.1. Prinsip pengujian
Sampel
atau benda uji dengan ukuran dan bentuk tertentu ditarik dengan beban kontinyu
sambil diukur pertambahan panjangnya. Data yang didapat berupa perubahan
panjang dan perubahan beban yang selanjutnya ditampilkan dalam bentuk grafik
tegangan-regangan, sebagaimana ditunjukkan oleh Gambar 1.1. Data-data penting
yang diharapkan didapat dari pengujian tarik ini adalah: perilaku mekanik
material dan karakteristik perpatahan.
1.1.1. Perilaku mekanik material
Pengujian
tarik yang dilakukan pada suatu material padatan (logam dan nonlogam) dapat
memberikan keterangan yang relatif lengkap mengenai perilaku material tersebut
terhadap pembebanan mekanis. Informasi penting yang bisa didapat adalah:
a. Batas proporsionalitas
(proportionality limit)
Merupakan
daerah batas dimana tegangan dan regangan mempunyai hubungan proporsionalitas
satu dengan lainnya. Setiap penambahan tegangan akan diikuti dengan penambahan
regangan secara proporsional dalam hubungan linier σ = Eε (bandingkan dengan
hubungan y = mx; dimana y mewakili tegangan; x mewakili regangan dan m mewakili
slope kemiringan dari modulus kekakuan). Titik P pada Gambar 1.1 di bawah ini
menunjukkan batas proporsionalitas dari kurva tegangan-regangan.
Gambar 1.1.
Kurva tegangan-regangan dari sebuah benda uji terbuat baja ulet
b.
Batas elastis (elastic limit)
Daerah
elastis adalah daerah dimana bahan akan kembali kepada panjang semula bila tegangan
luar dihilangkan. Daerah proporsionalitas merupakan bahagian dari batas elastik
ini. Selanjutnya bila bahan terus diberikan tegangan (deformasi dari luar) maka
batas elastis akan terlampaui pada akhirnya sehingga bahan tidak akan kembali
kepada ukuran semula. Dengan kata lain dapat didefinisikan bahwa batas elastis
merupakan suatu titik dimana tegangan yang diberikan akan menyebabkan
terjadinya deformasi permanen (plastis) pertama kalinya. Kebanyakan material
teknik memiliki batas elastis yang hampir berimpitan dengan batas
proporsionalitasnya.
c.
Titik luluh (yield point) dan kekuatan luluh (yield strength)
Titik
ini merupakan suatu batas dimana material akan terus mengalami deformasi tanpa
adanya penambahan beban. Tegangan (stress) yang mengakibatkan bahan
menunjukkan mekanisme luluh ini disebut tegangan luluh (yield stress).
Titik luluh ditunjukkan oleh titik Y
pada
Gambar 1.1 di atas. Gejala luluh umumnya hanya ditunjukkan oleh logam-logam
ulet dengan struktur Kristal BCC dan FCC yang membentuk interstitial solid
solution dari atom-atom carbon, boron, hidrogen dan oksigen. Interaksi antara
dislokasi dan atom-atom tersebut menyebabkan baja
ulet
eperti mild steel menunjukkan titik luluh bawah (lower yield point) dan
titik luluh atas
(upper
yield point). Baja berkekuatan tinggi dan besi tuang yang getas umumnya
tidak memperlihatkan batas luluh yang jelas. Untuk menentukan kekuatan luluh
material seperti ini maka digunakan suatu metode yang dikenal sebagai Metode
Offset. Dengan metode ini kekuatan luluh (yield strength)
ditentukan sebagai tegangan dimana bahan memperlihatkan batas
penyimpangan/deviasi tertentu dari proporsionalitas tegangan dan regangan .
Pada Gambar 1.2 di bawah ini garis offset OX ditarik paralel dengan OP,
sehingga perpotongan XW dan kurva tegangan-regangan memberikan titik Y sebagai
kekuatan luluh. Umumnya garis offset OX diambil 0.1 – 0.2% dari regangan total
dimulai dari titik O.
Gambar
1.2. Kurva tegangan-regangan dari sebuah
benda uji terbuat dari bahan getas
Kekuatan
luluh atau titik luluh merupakan suatu gambaran kemampuan bahan menahan
deformasi permanen bila digunakan dalam penggunaan struktural yang melibatkan
pembebanan mekanik seperti tarik, tekan bending atau puntiran. Di sisi lain,
batas luluh ini harus dicapai ataupun dilewati bila bahan (logam) dipakai dalam
proses manufaktur produk-produk logam seperti proses rolling, drawing,
stretching dan sebagainya. Dapat dikatakan
bahwa
titik luluh adalah suatu tingkat tegangan yang:
• Tidak boleh dilewati dalam penggunaan struktural (in
service)
• Harus dilewati dalam proses manufaktur logam (forming
process)
c. Kekuatan tarik maksimum (ultimate tensile
strength)
Merupakan
tegangan maksiumum yang dapat ditanggung oleh material sebelum terjadinya
perpatahan (fracture). Nilai kekuatan tarik maksimum σ uts ditentukan
dari beban maksimum Fmaks dibagi luas penampang awal Ao.
UTS = F maks
A
Pada
bahan ulet tegangan maksimum ini ditunjukkan oleh titik M (Gambar 1.1) dan
selanjutnya bahan akan terus berdeformasi hingga titik B. Bahan yang bersifat
getas memberikan perilaku yang berbeda dimana tegangan maksimum sekaligus
tegangan perpatahan (titik B pada Gambar 1.2). Dalam kaitannya dengan
penggunaan structural maupun dalam proses forming bahan, kekuatan maksimum
adalah batas tegangan yang sama sekali tidak boleh dilewati.
d.
Kekuatan Putus (breaking strength)
Kekuatan
putus ditentukan dengan membagi beban pada saat benda uji putus (Fbreaking)
dengan luas penampang awal Ao. Untuk bahan yang bersifat ulet
pada saat beban maksimum M terlampaui dan bahan terus terdeformasi hingga titik
putus B maka terjadi mekanisme penciutan (necking) sebagai akibat
adanya suatu deformasi yang terlokalisasi. Pada bahan ulet kekuatan putus
adalah lebih kecil daripada kekuatan maksimum sementara pada bahan getas kekuatan
putus adalah sama dengan kekuatan maksimumnya.
e.
Keuletan (ductility)
Keuletan
merupakan suatu sifat yang menggambarkan kemampuan logam menahan deformasi
hingga terjadinya perpatahan. Sifat ini , dalam beberapa tingkatan, harus
dimiliki oleh bahan bila ingin dibentuk (forming) melalui proses rolling,
bending, stretching, drawing, hammering, cutting
dan sebagainya. Pengujian tarik memberikan dua metode pengukuran keuletan
bahan yaitu:
• Persentase perpanjangan (elongation)
Diukur
sebagai penambahan panjang ukur setelah perpatahan terhadap panjang awalnya.
Ø Elongasi,
ε (%) = [(Lf-Lo)/Lo] x
100%
dimana
Lf adalah panjang akhir dan Lo panjang awal dari benda uji.
• Persentase pengurangan/reduksi penampang
(Area Reduction)
Diukur
sebagai pengurangan luas penampang (cross-section) setelah perpatahan terhadap
luas
penampang awalnya.
Ø Reduksi
penampang, R (%) = [(Ao-Af)/Ao] x 100%
dimana
Af adalah luas penampang akhir dan Ao luas penampang awal.
f.
Modulus elastisitas (E)
Modulus
elastisitas atau modulus Young merupakan ukuran kekakuan suatu material. Semakin
besar harga modulus ini maka semakin kecil regangan elastis yang terjadi pada suatu
tingkat pembebanan tertentu, atau dapat dikatakan material tersebut semakin
kaku (stiff). Pada grafik tegangan-regangan (Gambar 1.1 dan 1.2),
modulus kekakuan tersebut dapat dihitung dari slope kemiringan garis elastis
yang linier, diberikan oleh:
Ø E
= σ/ε atau E = tan α (1.4)
dimana
α adalah sudut yang
dibentuk oleh daerah elastis kurva tegangan-regangan. Modulus
elastisitas
suatu material ditentukan oleh energi ikat antar atom-atom, sehingga besarnya
nilai modulus ini tidak dapat dirubah oleh suatu proses tanpa merubah struktur
bahan. Sebagai contoh diberikan oleh Gambar 1.3 di bawah ini yang menunjukkan
grafik tegangan-regangan beberapa jenis baja:
Gambar
1.3. Grafik tegangan-regangan beberapa baja
yang memperlihatkan kesamaan modulus kekakuan
g.
Modulus kelentingan (modulus of resilience)
Mewakili
kemampuan material untuk menyerap energi dari luar tanpa terjadinya kerusakan.
Nilai modulus dapat diperoleh dari luas segitiga yang dibentuk oleh area
elastik diagram tegangan-regangan pada Gambar 1.1.
h.
Modulus ketangguhan (modulus of toughness)
Merupakan
kemampuan material dalam menyerap energi hingga terjadinya perpatahan. Secara
kuantitatif dapat ditentukan dari luas area keseluruhan di bawah kurva
teganganregangan hasil pengujian tarik seperti Gambar 1.1. Pertimbangan disain
yang mengikut sertakan modulus ketangguhan menjadi sangat penting untuk
komponen-komponen yang mungkin mengalami pembebanan berlebih secara tidak
disengaja. Material dengan modulus ketangguhan yang tinggi akan mengalami
distorsi yang besar karena pembebanan berlebih, tetapi hal ini tetap disukai
dibandingkan material dengan modulus yang rendah dimana perpatahan akan terjadi
tanpa suatu peringatan terlebih dahulu.
i.
Kurva tegangan-regangan rekayasa dan sesungguhnya
Kurva
tegangan-regangan rekayasa didasarkan atas dimensi awal (luas area dan panjang)
dari benda uji, sementara untuk mendapatkan kurva tegangan-regangan
sesungguhnya diperlukan luas area dan panjang aktual pada saat pembebanan
setiap saat terukur. Perbedaan kedua kurva tidaklah terlampau besar pada
regangan yang kecil, tetapi menjadi signifikan pada rentang terjadinya
pengerasan regangan (strain hardening), yaitu setelah titik luluh
terlampaui. Secara khusus perbedaan menjadi demikian besar di dalam daerah
necking. Pada kurva tegangan-regangan rekayasa, dapat diketahui bahwa benda uji
secara aktual mampu menahan turunnya beban karena luas area awal Ao bernilai
konstan pada saat penghitungan tegangan σ =
P/Ao.
Sementara pada kurva tegangan-regangan sesungguhnya luas area actual adalah
selalu turun hingga terjadinya perpatahan dan benda uji mampu menahan
peningkatan tegangan karena σ =
P/A.
Gambar 1.4 di bawah ini memperlihatkan contoh kedua kurva tegangan-regangan
tersebut pada baja karbon rendah (mild steel).
1.1.2. Mode
Perpatahan Material
Sampel hasil
pengujian tarik dapat menunjukkan beberapa tampilan perpatahan seperti
diilustrasikan oleh Gambar 1.5 di bawah ini:
Perpatahan
ulet memberikan karakteristk berserabut (fibrous) dan gelap (dull),
sementara perpatahan getas ditandai dengan permukaan patahan yang berbutir (granular)
dan terang. Perpatahan ulet umumnya lebih disukai karena bahan ulet umumnya
lebih tangguh dan memberikan peringatan lebih dahulu sebelum terjadinya
kerusakan Pengamatan kedua tampilan perpatahan itu dapat dilakukan baik dengan
mata telanjang maupun dengan bantuan stereoscan macroscope. Pengamatan
lebih detil dimungkinkan dengan penggunaan SEM (Scanning Electron Microscope).
a. Perpatahan
Ulet
Gambar 1.6 di
bawah ini memberikan ilustrasi skematis terjadinya perpatahan ulet pada suatu
spesimen yang diberikan pembebanan tarik:
Gambar
1.6 . Tahapan
terjadinya perpatahan ulet pada sampel uji tarik:
(a) Penyempitan awal
(b)
Pembentukan rongga-rongga kecil (cavity)
(c)
Penyatuan rongga-rongga membentuk suatu Retakan
(d) Perambatan retak
(e) Perpatahangeser akhir pada sudut 45°.
b. Perpatahan Getas
Perpatahan
getas memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1.
Tidak ada atau sedikit sekali deformasi plastis yang terjadi pada material
2.
Retak/perpatahan merambat sepanjang bidang-bidang kristalin membelah atom-atom
material
(transgranular).
3.
Pada material lunak dengan butir kasar (coarse-grain) maka dapat dilihat
pola-pola yang dinamakan chevrons or
fan-like pattern yang berkembang keluar dari daerah awal kegagalan.
4.
Material keras dengan butir halus (fine-grain) tidak memiliki pola-pola yang
mudah dibedakan.
5.
Material amorphous (seperti gelas) memiliki permukaan patahan yang bercahaya
dan mulus.
BAB
2
PENGUJIAN
KEKERASAN
2.1.
Prinsip pengujian
Dari
uraian singkat di atas maka kekerasan suatu material dapat didefinisikan
sebagai ketahanan material tersebut terhadap gaya penekanan dari material lain
yang lebih keras. Penekanan tersebut dapat berupa mekanisme penggoresan (scratching),
pantulan ataupun indentasi dari material keras terhadap suatu permukaan benda uji.
Berdasarkan mekanisme penekanan
tersebut, dikenal 3 metode uji kekerasan:
2.1.1.
Metode gores
Metode ini tidak banyak lagi digunakan dalam dunia
metalurgi dan material lanjut, tetapi masih sering dipakai dalam dunia
mineralogi. Metode ini dikenalkan oleh Friedrich Mohs yang membagi kekerasan
material di dunia ini berdasarkan skala (yang kemudian dikenal sebagai skala Mohs).
Skala ini bervariasi dari nilai 1 untuk kekerasan yang paling rendah,
sebagaimana dimiliki oleh material talk, hingga skala 10 sebagai nilai
kekerasan tertinggi, sebagaimana dimiliki oleh intan. Dalam skala Mohs urutan
nilai kekerasan material di dunia ini diwakili oleh:
1. Talc 6. Orthoclase
2. Gipsum 7. Quartz
3. Calcite 8. Topaz
4. Fluorite 9. Corundum
5. Apatite 10. Diamond (intan)
Prinsip pengujian:
bila suatu mineral mampu digores oleh Orthoclase
(no. 6) tetapi tidak mampu digores oleh Apatite (no. 5), maka kekerasan mineral
tersebut berada antara 5 dan 6. Berdasarkan hal ini, jelas terlihat bahwa
metode ini memiliki kekurangan utama berupa ketidak akuratan nilai kekerasan
suatu material. Bila kekerasan mineral-mineral diuji dengan metode lain, ditemukan
bahwa nilai-nilainya berkisar antara 1-9 saja, sedangkan nilai 9-10 memiliki
rentang yang besar.
2.1.2
Metode elastik/pantul (rebound)
Dengan metode ini, kekerasan suatu material
ditentukan oleh alat Scleroscope yang mengukur tinggi pantulan suatu pemukul
(hammer) dengan berat tertentu yang dijatuhkan dari suatu ketinggian terhadap
permukaan benda uji. Tinggi pantulan (rebound) yang dihasilkan mewakili
kekerasan benda uji. Semakin tinggi pantulan tersebut, yang ditunjukkan oleh
dial pada alat pengukur, maka kekerasan benda uji dinilai semakin tinggi.
2.1.3.
Metode indentasi
Pengujian dengan metode ini dilakukan dengan
penekanan benda uji dengan indentor dengan gaya tekan dan waktu indentasi yang
ditentukan. Kekerasan suatu material ditentukan oleh dalam ataupun luas area
indentasi yang dihasilkan (tergantung jenis indentor dan jenis pengujian).
Berdasarkan prinsip bekerjanya metode uji kekerasan dengan cara indentasi dapat
diklasifikasikan sebagai berikut:
a.
Metode Brinell
Metode ini diperkenalkan pertama kali oleh J.A.
Brinell pada tahun 1900. Pengujian kekerasan dilakukan dengan memakai bola baja
yang diperkeras (hardened steel ball) dengan beban dan waktu indentasi
tertentu, sebagaimana ditunjukkan oleh Gambar 2.1. Hasil penekanan adalah jejak
berbentuk lingkaran bulat, yang harus dihitung diameternya di bawah mikroskop
khusus pengukur jejak. Contoh pengukuran hasil penjejakan diberikan oleh Gambar
2.2. Pengukuran nilai kekerasan suatu material diberikan oleh rumus:
dimana P adalah beban (kg), D diameter indentor (mm)
dan d diameter jejak (mm).
Prosedur standar pengujian mensyaratkan bola baja
dengan diameter 10 mm dan beban 3000 kg untuk pengujian logam-logam ferrous,
atau 500 kg untuk logam-logam non-ferrous. Untuk logam-logam ferrous, waktu indentasi
biasanya sekitar 10 detik sementara untuk logamlogam non-ferrous sekitar 30
detik. Walaupun demikian pengaturan beban dan waktu indentasi untuk setiap
material dapat pula ditentukan oleh karakteristik alat penguji. Nilai kekerasan
suatu material yang dinotasikan dengan ‘HB’ tanpa tambahan angka di belakangnya
menyatakan kondisi pengujian standar dengan indentor bola baja 10 mm, beban
3000 kg selama waktu 1—15 detik. Untuk kondisi yang lain, nilai kekerasan HB
diikuti angka-angka yang menyatakan kondisi pengujian. Contoh: 75 HB 10/500/30
menyatakan nilai kekerasan Brinell sebesar 75 dihasilkan oleh suatu pengujian
dengan indentor 10 mm, pembebanan 500 kg selama 30 detik.
b.
Metode Vickers
Pada
metode ini digunakan indentor intan berbentuk piramida dengan sudut 136o,
seperti diperlihatkan oleh Gambar 2.3. Prinsip pengujian adalah sama dengan
metode Brinell, walaupun jejak yang dihasilkan berbentuk bujur sangkar
berdiagonal. Panjang diagonal diukur dengan skala pada mikroskop pengujur
jejak. Nilai kekerasan suatu material diberikan oleh:
VHN = 1.854 P
d2
dimana
d adalah panjang diagonal rata-rata dari jejak berbentuk bujur
sangkar.
Gambar
2.3. Skematis prinsip indentasi dengan metode
Vickers
c.
Metode Rockwell
Berbeda
dengan metode Brinell dan Vickers dimana kekerasan suatu bahan dinilai dari
diameter/diagonal jejak yang dihasilkan maka metode Rockwell merupakan uji
kekerasan dengan pembacaan langsung (direct-reading). Metode ini banyak
dipakai dalam industry karena pertimbangan praktis. Variasi dalam beban dan
indetor yang digunakan membuat metode ini memiliki banyak macamnya. Metode yang
paling umum dipakai adalah Rockwell B (dengan indentor bola baja berdiameter
1/6 inci dan beban 100 kg) dan Rockwell C (dengan indentor intan dengan beban
150 kg). Walaupun demikian metode Rockwell lainnya juga biasa dipakai. Oleh
karenanya skala kekerasan Rockwell suatu material harus dispesifikasikan dengan
jelas. Contohnya 82 HRB, yang menyatakan material diukur dengan skala B:
indentor 1/6 inci dan beban 100 kg. Berikut ini diberikan Tabel 2.1 yang
memperlihatkan perbedaan skala dan range uji dalam skala Rockwell:
Tabel 2.1. Skala pada
Metode Uji Kekerasan Rockwell
BAB
3
PENGUJIAN
IMPAK
3.1.
Prinsip pengujian
Dasar
pengujian impak ini adalah penyerapan energi potensial dari pendulum beban yang
berayun dari suatu ketinggian tertentu dan menumbuk benda uji sehingga benda
uji mengalami deformasi. Gambar 3.1 di bawah ini memberikan ilustrasi suatu
pengujian impak dengan metode Charpy:
Gambar 3.1. Ilustrasi
skematis pengujian impak dengan benda uji Charpy
Pada
pengujian impak ini banyaknya energi yang diserap oleh bahan untuk terjadinya
perpatahan merupakan ukuran ketahanan impak atau ketangguhan bahan
tersebut. Pada Gambar 3.1 di atas dapat dilihat bahwa setelah benda uji patah
akibat deformasi, bandul pendulum melanjutkan ayunannya hingga posisi h’.
Bila bahan tersebut tangguh yaitu makin mampu menyerap energi lebih besar maka
makin rendah posisi h’. Suatu material dikatakan tangguh bila memiliki
kemampuan menyerap beban kejut yang besar tanpa terjadinya retak atau
terdeformasi dengan mudah. Pada pengujian impak, energi yang diserap oleh benda
uji biasanya dinyatakan dalam satuan Joule dan dibaca langsung pada skala (dial)
penunjuk yang telah dikalibrasi yang terdapat pada mesin penguji. Harga impak (HI)
suatu bahan yang diuji dengan metode Charpy diberikan oleh :
HI = E
A
dimana
E adalah energi yang diserap dalam satuan Joule dan A luas penampang di bawah
takik dalam satuan mm2. Secara umum benda uji impak dikelompokkan ke dalam dua
golongan sampel standar yaitu : batang
uji Charpy sebagaimana telah ditunjukkan pada Gambar 1, banyak digunakan di
Amerika Serikat dan batang uji Izod yang lazim digunakan di Inggris dan Eropa.
Benda uji Charpy memiliki luas penampang lintang bujur sangkar (10 x 10 mm) dan
memiliki takik (notch) berbentuk V dengan sudut 45o, dengan jari-jari dasar
0,25 mm dan kedalaman 2 mm. Benda uji diletakkan pada tumpuan dalam posisi
mendatar dan bagian yang bertakik diberi beban impak dari ayunan bandul,
sebagaimana telah ditunjukkan oleh Gambar 3.1. Benda uji Izod mempunyai
penampang lintang bujur sangkar atau lingkaran dengan takik V di dekat ujung
yang dijepit. Perbedaan cara pembebanan antara metode Charpy dan Izod
ditunjukkan oleh Gambar 3.2 di bawah ini:
Gambar 3.2. Ilustrasi
skematik pembebanan impak pada benda uji Charpy dan Izod
Serangkaian
uji Charpy pada satu material umumnya dilakukan pada berbagai temperature
sebagai upaya untuk mengetahui temperatur transisi (akan diterangkan pada
paragrafparagraf selanjutnya). Sementara uji impak dengan metode Izod umumnya
dilakukan hanya pada temperatur ruang dan ditujukan untuk material-material
yang didisain untuk berfungsi sebagai cantilever. Takik (notch) dalam benda uji
standar ditujukan sebagai suatu konsentrasi tegangan sehingga perpatahan
diharapkan akan terjadi di bagian tersebut. Selain berbentuk V dengan sudut
45o, takik dapat pula dibuat dengan bentuk lubang kunci (key hole). Pengukuran
lain yang biasa dilakukan dalam pengujian impak Charpy adalah penelaahan
permukaan perpatahan untuk menentukan jenis perpatahan (fracografi) yang
terjadi. Secara umum sebagaimana analisis perpatahan pada benda hasil uji tarik
maka perpatahan impak digolongkan menjadi 3 jenis, yaitu:
1.
Perpatahan berserat (fibrous fracture), yang melibatkan mekanisme pergeseran
bidang bidang
kristal
di dalam bahan (logam) yang ulet (ductile). Ditandai dengan permukaan patahan
berserat yang berbentuk dimpel yang menyerap cahaya dan berpenampilan buram.
2.
Perpatahan granular/kristalin, yang dihasilkan oleh mekanisme pembelahan
(cleavage) pada butir-butir dari bahan (logam) yang rapuh (brittle). Ditandai
dengan permukaan patahan yang datar yang mampu memberikan daya pantul cahaya
yang tinggi (mengkilat).
3.
Perpatahan campuran (berserat dan granular). Merupakan kombinasi dua jenis
perpatahan di atas.
Selain
dengan harga impak yang ditunjukkan oleh alat uji, pengukuran ketangguhan suatu
bahan dapat dilakukan dengan memperkirakan berapa persen patahan berserat dan patahan
kristalin yang yang dihasilkan oleh benda uji yang diuji pada temperatur
tertentu. Semakin banyak persentase patahan berserat maka dapat dinilai semakin
tangguh bahan tersebut. Cara ini dapat dilakukan dengan mengamati permukaan
patahan benda uji di bawah miskroskop stereoscan. Informasi lain yang
dapat dihasilkan dari pengujian impak adalah temperatur transisi bahan. Temperatur
transisi adalah temperatur yang menunjukkan transisi perubahan jenis
perpatahan suatu bahan bila diuji pada temperatur yang berbeda-beda. Pada
pengujian dengan temperatur yang berbeda-beda maka akan terlihat bahwa pada
temperatur tinggi material akan bersifat ulet (ductile) sedangkan pada
temperatur rendah material akan bersifat rapuh atau getas (brittle).
Fenomena ini berkaitan dengan vibrasi atom-atom bahan pada temperatur yang
berbeda dimana pada temperatur kamar vibrasi itu berada dalam kondisi
kesetimbangan dan selanjutnya akan menjadi tinggi bila temperatur dinaikkan
(ingatlah bahwa energi panas merupakan suatu driving force terhadap pergerakan
partikel atom bahan). Vibrasi atom inilah yang berperan sebagai suatu
penghalang (obstacle) terhadap pergerakan dislokasi pada saat terjadi
deformasi kejut/impak dari luar. Dengan semakin tinggi vibrasi itu maka
pergerakan dislokasi mejadi relatif sulit sehingga dibutuhkan energi yang lebih
besar untuk mematahkan benda uji. Sebaliknya pada temperatur di bawah nol
derajat Celcius, vibrasi atom relatif sedikit sehingga pada saat bahan
dideformasi pergerakan dislokasi menjadi lebih mudah dan benda uji menjadi
lebih mudah dipatahkan dengan energi yang relatif lebih rendah. Informasi
mengenai temperatur transisi menjadi demikian penting bila suatu material akan
didisain untuk aplikasi yang melibatkan rentang temperatur yang besar, misalnya
dari temperatur di bawah nol derajat Celcius hingga temperatur tinggi di atas
100 derajat Celcius, contoh sistem penukar panas (heat exchanger).
Hampir semua logam berkekuatan rendah dengan struktur kristal FCC seperti
tembaga dan aluminium bersifat ulet pada semua temperatur sementara bahan
dengan kekuatan luluh yang tinggi bersifat rapuh. Bahan keramik, polimer dan
logam-logam BCC dengan kekuatan luluh rendah dan sedang memiliki transisi
rapuh-ulet bila temperatur dinaikkan. Hampir semua baja karbon yang dipakai
pada jembatan, kapal, jaringan pipa dan
sebagainya bersifat rapuh pada temperatur rendah. Gambar 3.4 memberikan
ilustrasi efek temperatur terhadap ketangguhan impak beberapa bahan, sedangkan
Gambar 3.5 menyajikan bentuk benda uji impak berdasarkan ASTM E-23-56T.
Gambar
3.4. Efek temperatur terhadap ketangguhan
impak beberapa material
Gambar
3.5. Bentuk dan dimensi benda uji impak
berdasarkan ASTM E23-56T