Selasa, 22 Mei 2012

Korosi


KOROSI
1.       Pengertian Korosi
            Korosi atau perkaratan berasal dari bahasa latin ”Corrodere” yang berarti perusakan logam. Adapun definisi korosi sebagai berikut.
-          Korosi adalah proses degradasi atau deteorisasi perusakan material yang terjadi disebabkan oleh pengaruh lingkungan sekelilingnya.
-          Korosi adalah perusakan material tanpa perusakan mekanis.
-          Korosi adalah proses elektrokimia dalam mencapai kesetimbangan thermodinamika suatu sistem. Jadi korosi adalah merupakan sistem termodinamika logam dengan lingkungan (air, udara, tanah), yang berusaha mencapai kesetimbangan . sistem ini dikategorikan setimbang bila logam telah membentuk oksidasi atau senyawa kimia lain yang lebih stabil (berenergi lebih rendah).
-          Korosi adalah reaksi antara logam dengan lingkungannya.
Korosi adalah suatu penyakit dalam dunia teknik, walaupun secara langsung bukan merupakan produk teknik. Adanya studi tentang korosi adalah usaha untuk mencegah dan mengendalikan kerusakan supaya serangannya serendah mungkin dan dapat melampaui nilai ekonomisnya, atau umur tahannya material lebih lama untuk bisa dimanfaatkan. Caranya dengan usaha prefentif atau pencegahan dini untuk menghambat korosi. Dan hal ini lebih baik dari pada harus mengeluarkan biaya perbaikan yang tidak sedikit akibat serangan korosi.
Secara kimiawi korosi adalah reaksi pelarutan (dissolution) logam menjadi ion pada permukaan logam yang berinteraksi dengan lingkungan yang dapat bersifat asam atau basa melalui reaksi elektrokimia. Logam tersebut memiliki ion negatif dan ion positif, yang apabila berhubungan dengan udara maka akan membentuk senyawa baru. Hal ini dikarenakan  udara mengandung bermacam-macam unsur salah satunya hidrogen sebagai oksidator, karenanya korosi ini juga dapat disebut atmospheric corrosion (Graedel dan Leygraf, 2001).

2.      Jenis-jenis Korosi
Adapun beberapa jenis korosi yang umum terjadi pada logam sebagai berikut.
1.      Korosi Galvanis (Bemetal Corrosion)
Disebut juga korosi dwilogam yang merupakan perkaratan elektrokimiawi apabila dua macam metal yang berbeda potensial dihubungkan langsung di dalam elektrolit yang sama. Elektron akan mengalir dari metal yang kurang mulia (anodik) menuju ke metal yang lebih mulia (katodik). Akibatnya metal yang kurang mulia berubah menjadi ion-ion positif karena kehilangan elektron. Ion-ion positif metal bereaksi dengan ion-ion negatif yang berada di dalam elektrolit menjadi garam metal. Karena peristiwa ini, permukaan anoda kehilangan metal sehingga terbentuk sumur-sumur karat atau jika merata akan terbentuk karat permukaan.
2.      Korosi Sumuran (Pitting Corrosion)
Adalah korosi yang terjadi karena komposisi logam yang tidak homogen dan ini menyebabkan korosi yang dalam pada berbagai tempat. Dapat juga adanya kontak antara logam yang berlainan dan logam yang kurang mulia, maka pada daerah batas akan timbul korosi berbentuk sumuran.
3.      Korosi Erosi (Errosion Corrosion)
Logam yang sebelumnya telah terkena erosi akibat terjadinya keausan dan menimbulkan bagian-bagian yang tajam dan kasar. Bagian-bagian inilah yang mudah terserang korosi dan apabila terdapat gesekan maka akan menimbulkan abrasi yang lebih berat.
4.      Korosi Regangan (Stress Corrosion)
Gaya-gaya seperti tarikan (tensile) atau kompresi (compressive) berpengaruh sangat kecil pada proses pengkaratan. Adanya kombinasi antara regangan tarik (tensile stress) dan lingkungan yang korosif, maka akan terjadi kegagalan material berupa retakan yang disebut retak karat regangan.
5.      Korosi Celah (Crevice Corrosion)
Korosi yang terjadi pada logam yang berdempetan dengan logam lain atau non logam dan diantaranya terdapat celah yang dapat menahan kotoran dan air sebagai sumber terjadinya korosi. Konsentrasi oksigen pada mulut lebih kaya dibandingkan pada bagian dalam, sehingga bagian dalam lebih anodik dan bagian mulut menjadi katodik. Maka terjadi aliran arus dari dalam menuju mulut logam yang menimbulkan korosi.
Atau juga perbedaan konsenrasi zat asam. Dimana celah sempit yang terisi elektrolit (pH rendah) akan terbentuk sel korosi, dengan katodanya permukaan sebelah luar celah yang basah dengan air yang lebih banyak mengandung zat asam dari pada daerah dalam yang besifat anodik. Maka dari sinilah terjadinya korosi dengan adanya katoda dan anoda.

6.      Korosi Kavitasi (Cavitation Corrosion)
Terjadi karena tingginya kecepatan cairan menciptakan daerah-daerah bertekanan tinggi dan rendah secara berulang-ulang pada permukaan peralatan dimana cairan tersebut mengalir. Maka terjadilah gelembung-gelembung uap air pada permukaan tersebut, yang apabila pecah kembali menjadi cairan akan menimbulkan pukulan pada permukaan yang cukup besar untuk memecahkan film oksida pelindung permukaan. Akibatnya bagian permukaan yang tidak terlindungi terserang korosi. Karena bagian tersebut menjadi anodik terhadap bagian yang terlindungi.
Karena terjadinya korosi pada bagian tersebut, maka akan kehilangan massa dan menjadi takik. Takik-takik tersebut akan bertambah dalam karena permukaan di dalam takik tidak sempat membentuk film pelindung karena kecepatan cairan yang tinggi dan proses kavitasi akan berlangsung secara berulang-ulang.
7.      Korosi Lelah (Fatigue Corrosion)
Bila logam mendapat beban siklus yang berulang-ulang, tetapi masih dibawah batas kekuatan luluhnya. Maka setelah sekian lama akan patah karena terjadinya kelelahan logam. Kelelahan dapat dipercepat dengan adanya serangan korosi. Kombinasi antara kelelahan dan korosi yang mengakibatkan kegagalan disebut korosi lelah. Korosi lelah terjadi di daerah yang menderita beban, lasan dan lainnya.
8.      Korosi Antar Kristal
Terjadinya korosi hanya pada batas kristal, akibat dari serangan elektrolit. Karena tegangan pada kristal adalah paling tinggi. Dan terjadinya karbida pada batas butir yang dapat mengakibatkan korosi ini.
9.      Penggetasan Hidrogen
a.      Hydrogen Embrittlement
Penggetasan hidrogen adalah suatu proses hilangnya duktilasi baja dengan terserapnya hidrogen ke dalam struktur material baja. Kekuatan tarik tidak terpengaruh secara nyata. Duktilasi ini dapat dikembalikan melalui perlakuan panas. Kerusakan hidrogen menggambarkan pelemahan baja secara permanen karena berkembangnya retak-retak mikro (microfissures). Retak yang disebabkan oleh kerusakan hidrogen biasanya terjadi di sepanjang batas butir, karenanya berbeda dengan retak dingin akibat kemasukan hidrogen yang biasanya bersifat transgranular. Di dalam material baja, atom-atom hidrogen ini bergabung menjadi molekul (H­2­­) dan menyebabkan terjadinya regangan lokal yang hebat. Jika baja cukup duktil maka kemungkinan dapat bertahan terhadap regangan lokal ini. Namun jika baja getas dan keras, maka akan terjadi retak-retak halus, yang kemudian menjadi besar dan mengakibatkan kegagalan material.
b.      Hydrogen Damage
Kerusakan hidrogen di dalam material baja terjadi akibat atom-atom hidrogen ini bergabung menjadi molekul (H­2­­) dan menyebabkan terjadinya regangan lokal. Jika kemudian gas H2 terperangkap di dalam cacat material seperti inklusi dan laminasi, maka gas hidrogen lama-kelamaan berkumpul dan menaikkan tekanan di lokasi tersebut. Karena besarnya tekanan menyebabkan gelembung atau blister. Hal ini tidak terjadi pada suhu yang tidak terlalu tinggi dan pada daerah yang dekat dengan permukaan.



3 Faktor Penyebab Terjadinya Korosi
Faktro penyebab terjadinya korosi dapat dibagi menjadi 3 bagian yaitu sifat dari material, faktor lingkungan dan adanya reaksi
3.1 Sifat material
1.      Pengaruh susunan kimia material
Semua logam termasuk baja tahan karat, alumunium, dan sebagainya cenderung akan akan mengalami pengkaratan oleh media korosif.
2.      Pengaruh struktur kristal
Kurangnya homogenitas struktur dapat emnimbulkan efek-efek galvanis mikro pada material yang menyebabkan pengkaratan. Perbedaan potensial akan mneyebabkan terjadinya aliran elektron bila baja dimasukkan kedalam larutan elektrolit. Pada material yang mengalami deformasi akan lebih mudah terjadi korosi, karena butiran dalam material mengalami perubahan bentuk dan susunanya.
3.      Pengaruh beda potensialbila dua logam mempunyai beda potensial tidak sama digabungkan dan dimasukkan dalam larutan elektrolit maka akan terjadi pengkaratan.
4.      Pengaruh bentuk permukaan material
Permukaan logamm yang mempunyai bentuk sendiri akan menyebabkan terjadinya korosi. Adanya kotoran pada permukaan material akan menyebabkan korosi karena terperangkapnya oksigenn dalam material.
3.2 Lingkungan Korosi
Adapun beberapa pengaruh lingkungan korosi secara umum sebagai berikut.
1 Lingkungan Air
Air atau uap air dalam jumlah sedikit atau banyak akan mempengaruhi tingkat korosi pada logam. Reaksinya bukan hanya antara logam dengan oksigen saja, tetapi juga dengan uap air yang menjadi reaksi elektrokimia. Karena air berfungsi sebagai:
-          Pereaksi. Misalnya pada besi akan berwarna cokelat karena terjadinya besi hidroksida.
-          Pelarut. Produk-produk korosi akan larut dalam air seperti besi klorida atau besi sulfat.
-          Katalisator. Besi akan cepat bereaksi dengan O2 dari udara sekitar bila ada uap air.
-          Elektrolit lemah. Sebagai penghantar arus yang lemah atau kecil.
Mekanisme reaksi uap air di udara dengan logam sebagai berikut (Sumber: Supardi, 1997:72).
4H2O                                         4H+ + 4OH-
4H+ + O2                                          2H2O
Fe                                              Fe2+ + 2e
2Fe + 4H+                                  2Fe2+ + 4H+
2Fe2+ + 4OH2-                            2Fe(OH)2
















2Fe(OH)2 + H2 + 1/2 O2                2Fe(OH)3
4Fe + 6H2O + 3O2 ­                        4Fe(OH)3


Proses reaksi uap air terjadi seperti pada gambar 1 di bawah ini
 





                                                                                                





                                                                                                                  

Gambar 1. Sel Karat Logam di dalam Titik Embun
Korosi pada lingkungan air bergantung pada pH,  kadar oksigen dan temperatur. Misalnya pada baja tahan karat pada suhu 300-500oC bisa bertahan dari karat. Namun pada suhu yang lebih tinggi 600-650oC baja tahan karat akan terserang korosi dengan cepat. Demikian juga dengan penambahan kadar O2 dalam air maka akan mempercepat laju korosi pada logam. Pengaruh kondisi lingkungan yang berubah-ubah sangat mempengaruhi laju korosi. Seperti faktor-faktor berikut.
2.pH
Menurut penelitian Whitman dan Russel ternyata pH dari suatu elektrolit sangat mempengaruhi pada proses terjadinya korosi pada besi. Pengaturan pH dilakukan dengan pembubuhan KOH pada air yang pH 6-14 dan pembubuhan  asam  pada 7-0. Seperti terlihat pada gambar 2.
Gambar 2.

3.      Kadar Oksigen
Oksigen hampir ada dimana-mana, karena potensial redoks sangat tinggi maka oksigen dalam proses korosi akan terlebih dahulu akan direduksi oleh H+.
Potensial redoks reaksi: O2 + H2O + 4e            4OH- , E=1,23 V.
Kelarutan O2 dalam larutan harus dikurangi oleh garam yang terlarut dalam larutan dan kelarutannya bergantung pada logam yang tercelup dan luasan permukaan logam tercelup serta temperaturnya. Lihat gambar 3 di bawah ini.










Gambar 3. Kelarutan O2
Adapun macam-macam air seperti air suling merupakan air yang paling bersih dan bebas dari kation dan anion serta terisolir dari udara dan bebas mikroba. Adapun air hujan atau salju merupakan proses sulingan alam, namun demikian air ini masih mengandung CO2 dari udara yang dapat membentuk senyawa H2CO3 dan akan bersifat asam menyebabkan korosif pada baja. Untuk air permukaan komposisi zat terlarut bergantung pada tanah yang ditempati atau tergenang. Tetapi pada umumnya zat yang terlarut lebih rendah dari pada air laut. Biasanya air permukaan mengandung Ca2+, Mg2+, NH4+, Cl-, dan SO-4 yang agresifitasnya lebih rendah daripada air laut.
Korosi oleh air bersih pada logam yang tidak mulia akan terbentuk reaksi sebagai berikut: L + 2H2O                                                       L(OH)2 + H2
Sedangkan untuk air bersih dan adanya O2, akan ada proses oksidasi dari udara sekitarnya. Hal ini biasanya terjadi pada air dekat permukaan.
Reaksinya: 2L + 3H2O + 3/2O2                     2L(OH)3
3.1  Lingkungan Udara
Temperatur, kelembaban relatif, partikel-partikel abrasif dan ion-ion agresif yang terkandung dalam udara sekitar, sangat mempengaruhi laju korosi. Dalam udara yang murni, baja tahan karat akan sangat tahan terhadap korosi. Namun apabila udara mulai tercemari maka serangan korosi dapat mudah terjadi. Salah satu polusi udara yang menimbulkan karosi adalah NOX dari pabrik asam nitrat, SO2 dari hasil pembakaran bahan bakar fosil, Cl2 dari pabrik soda dan NaCl dari air laut.



3.3    Lingkungan Asam, Basa dan Garam
Pada lingkungan air laut, dengan konsentrasi garam NaCl atau jenis garam-garam yang lain seperti KCl akan menyebabkan laju korosi logam cepat. Sama halnya dengan kecepatan alir dari air laut yang sebanding dengan peningkatan laju korosi, akibat adanya gesekan, tegangan dan temperatur yang mendukung terjadinya korosi.
Pada larutan basa seperti NaOH (caustic soda), baja karbon akan tahan terhadap serangan korosi pada media ini dengan suhu larutan 75 oF (24 oC) dan konsentrasi 45% berat. Pada larutan asam seperti asam kromat (CrO3), dengan konsentrasi asam kromat 10% pada suhu 60oC, tidak akan menyerang baja tahan karat. Dan tingkat korosi akan naik sebanding dengan temperatur dan konsentrasi yang juga meningkat.
Sedangkan pada larutan asam seperti H2SO4, proses terjadinya perkaratan pada permukaan baja yang terbuka keseluruhannya terhadap hujan lebih baik dari pada sebagian saja terkena hujan atau sebagian terlindungi. Mekanismenya sebagai berikut.
Fe­H2SO1/2O2                      FeSO4 1/4O2 + 1/2 H2SO1/2Fe2(SO4)
1/2Fe2(SO4) 1/2H2O                     1/2Fe2O3 + 3/2 H2SO4 
(Sumber: Widharto,1999:5)
Senyawa kromat mampu sebagai pemasif yang efektif terhadap laju korosi pada logam. Dalam kenyataannya dapat tereduksi menjadi Cr2O3 yang membentuk serpih  yang berwarna hijau kecoklatan. Cr2O3 banyak digunakan sebagai abrasi pada pemolesan karena Cr2O3 keras, tajam sehingga mampu mengikis atau mengasah logam menjadi mengkilap.
Penggunaan larutan garam natrium kromat atau sodium kromat (Na2CrO4) dengan kadar tertentu mampu menghambat laju korosi. karena natrium kromat sebagai inhibitor kimia, yaitu suatu zat kimia yang dapat menghambat atau memperlambat suatu reaksi kimia. Secara khusus, inhibitor korosi merupakan suatu zat kimia yang bila ditambahkan ke dalam suatu lingkungan tertentu, dapat menurunkan laju penyerangan lingkungan itu terhadap suatu logam.
Selain itu, fungsi dari inhibitor adalah mampu memperpanjang umur pakai logam, melindungi dan memperindah permukaan logam, lebih mengkilap dan terang dengan warna tertentu yang dihasilkan sesuai inhibitornya.
Penggunaannya sebagai berikut:
-              Na2CrO4 dengan konsentrasi 50 ppm digunakan pada pipa baja.
-              2,3 gr/l Na2CrO4 untuk sambungan galvanik Cu-Zn-Fe.
-              2,4 gr/l Na2CrO4 untuk sambungan galvanik Fe-Al.
-              0,1% Na2CrO4 digunakan untuk penghambat laju korosi logam Fe, Cu, Zn dalam sistem air pendingin (water cooling) dan pada larutan garam (Brines).
-              0,1% - 1% Na2CrO4 digunakan untuk penghambat laju korosi (inhibisi) logam Fe, Pb, Cu, Zn dalam sistem mesin pendingin (engine coolants).

Terdapat berbagai macam media korosi dan faktor-faktor yang mempengaruhi laju korosi, seperti yang terlihat pada gambar 4 di bawah ini (Sumber: Widharto S, 1999:2).











Gambar 4. Berbagai Media Korosi dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya




4. Perhitungan Laju Korosi
            Logam baja karbon dicelupkan pada lingkungan yang telah dipersiapkan sebelumnya. Volume lingkungan yang digunakan mengikuti rasio minimum volume larutan terhadap luas permukaan benda uji adalah 20 ml/cm2, sesuai dengan ASTM G31-72 (Reapproved 1990) “Standard Practice for Laboratory Immersion Corrosion Testing of Metals”.
Untuk perhitungan laju korosi dapat ditentukan dengan rumus sebagai berikut:
Laju korosi     =      (mpy)
Dimana :
mpy = laju korosi, (mils/year)
W = berat yang hilang, (gr)
A = luas, (cm2)
T = waktu, (jam)
D = density, (gr/cm3)
(Sumber: Annual Book Of ASTM Standart)


Efisiensi Inhibitor dihitung berdasarkan rumus empiris di bawah ini:
                                                    


            Dimana:
                      E  = Efisiensi Inhibitor (%)
                      R0 = Laju korosi tanpa adanya inhibitor (mpy)
                      Ri = Laju korosi dengan adanya inhibitor (mpy)
5. Inhibitor
            Inhibitor adalah suatu zat kimia yang apabila ditambahkan atau dimasukkan dalam jumlah sedikit ke dalam suatu zat koroden (lingkungan yang korosif), dapat  secara efektif memperlambat atau mengurangi laju korosi. Selain itu, fungsinya mampu memperpanjang umur pakai logam, melindungi dan memperindah permukaan logam, lebih mengkilap dan terang dengan warna tertentu yang dihasilkan sesuai inhibitornya.
Terdapat beberapa jenis inhibitor sebagai berikut.
1.      Passivating Inhibitor
Inhibitor pemasif adalah yang paling efektif dari seluruh inhibitor yang ada. Karena dapat melumpuhkan korosi hampir secara menyeluruh. Namun jenis inhibitor ini sangat berbahaya karena pada kondisi tertentu justru akan mempercepat laju korosi. Terdapat dua jenis inhibitor pemasif, yaitu anion yang mengoksidasi seperti kromat, nitrat, nitrit yang dapat memasifkan baja jika tidak terdapat oksigen dan yang kedua adalah ion yang tidak mengoksidasi seperti tungsten, fosfat dan molibdat yang memerlukan keberadaan oksigen untuk memasifkan baja.
2.      Cathodic Inhibitor
Perlambatan laju korosi dengan mempolarisasi reaksi katodik. Terdapat tiga kategori utama tentang inhibitor yang mempengaruhi reaksi katodik adalah racun katoda, endapan katoda dan pemulung.
a)      Racun katoda
Adalah suatu zat yang mengganggu reaksi, misalnya pembentukan atau hidrogen menjadi gas hidrogen pada permukaan metal yang terkorosi. Laju reaksi katoda diperlambat dan karena reaksi katodik dan anodik harus berlanjut pada laju yang sama, seluruh proses korosi menjadi lambat pula. Beberapa racun katoda seperti sulfida dan selenida teradsorpsi pada permukaan metal. Senyawa lain seperti arsenik, bismut, antimon teredusir pada katoda untuk mengendap menjadi lapisan dari metal-metal tersebut. Arsenat dipergunakan untuk melemahkan atau melambatkan laju korosi pada asam kuat.
Terdapat suatu hal yang merugikan penggunaan racun katoda adalah zat tersebut menyebabkan blister atau gelembung pada baja dan meningkatkan kepekaan baja terhadap kerapuhan hidrogen. Karena proses pengkombinasian kembali atom-atom hidrogen diperlambat, konsentrasi permukaan meningkat dan karenanya sejumlah besar hidrogen yang dihasilkan pada proses korosi diabsorp oleh baja. Untuk menaikkan tingkat penetrasi hidrogen ke dalam baja hanya diperlukan sejumlah kecil sulfida atau arsenik, sebagai faktor penentu seringnya terjadi kasus kerusakan dan kegetasan hidrogen akibat pengaruh racun tersebut.
b)      Endapan katoda
Inhibitor tipe endapan katoda yang paling banyak dipakai adalah senyawa karbonat dengan kalsium dan magnesium. Hal ini disebabkan proses persenyawaan ini terjadi dalam air alami dan inhibitasi dengan senyawa ini biasanya hanya diperlukan pengaturan pH saja. Pada tingkat pH yang tepat, endapan berupa lapisan halus dan relatif keras yang mirip dengan kulit telur. Dengan terbentuknya lapisan tersebut, pH air harus dijaga pada posisi setimbang. Sebab jika kondisinya menjadi asam (acidid), endapan yang keras tadi akan mencair kembali. Keadaan di mana pH menciptakan lapisan keras disebut Langelier index.
c)      Pemulung  oksigen (oxygen scavenger)
Korosi pada baja dalam air dengan pH di atas 6 biasanya disebabkan oleh adanya zat asam yang larut dalam air tersebut yang mendepolarisasi reaksi katoda. Air netral mengandung sedikit garam yang berequilibrium dengan udara pada 21oC akan mengandung sekitar 8 ppm zat asam yang larut dalam air. Konsentrasi zat asam ini akan menurun dengan naiknya konsentrasi garam dan naiknya suhu. Sedangkan untuk kenaikan laju korosi yang serius pada sistem yang dinamis hanya diperlukan penambahan 0,1 ppm zat asam larut.
Dalam suatu sistem yang statis diperlukan penambahan oksigen yang lebih banyak untuk menaikkan laju korosi yang cukup besar. Karena reaksi korosi akan menghabiskan pasokan oksigen di sekitar metal. Zat pemulung atau pemungut zat asam dimasukkan ke dalam air, baik sendiri maupun bersamaan dengan zat penghambat korosi untuk menekan laju korosi logam. Zat penghambat karat organik mampu menghambat laju korosi pada air asin yang mengandung oksigen, namun tidak selalu mencegah terjadinya pitting.
Zat pemulung oksigen yang umum dipakai di dalam air pada suhu ambient (lingkungan) adalah sodium sulfit dan sulfur dioksida.
3.      Organic inhibitor
Senyawa organik banyak yang bersifat menghambat laju korosi yang tidak dapat digolongkan sebagai bersifat anodik atau katodik. Secara umum dapat dikatakan bahwa zat ini mempengaruhi seluruh permukaan metal yang sedang terkorosi apabila diberikan dalam konsentrasi secukupnya. Kemungkinan kedua daerah katodik dan anodik dihambat, namun dalam tingkat yang berbeda bergantung pada potensial metal, susunan kimiawi dari molekul zat inhibitor dan ukuran molekulnya.
Kenaikan tingkat perlambatan pada proses korosi selaras dengan kenaikan konsentrasi inhibitor. Hal ini memberikan gambaran bahwa proses perlambatan laju korosi (inhibition) pada hakikatnya adalah hasil absorpsi zat tersebut pada permukaan metal. Lapisan film yang terbentuk oleh proses absorpsi dari zat inhibitor organik yang larut hanya beberapa molekul saja tebalnya sehingga tidak tampak oleh pandangan mata. Inhibitor kationik seperti amine atau inhibitor anionik seperti sulfonat diserap ke dalam larutan secara cepat atau lambat bergantung muatan metal apakah negatif atau positif. Potensial antara dimana tidak diperlukan baik molekul kationik ataupun anionik disebut titik nol atau ZPC (zero point of charge).
Pada amine organik akan lebih efisien sebagai unsur penghambat korosi, apabila terdapat ion halogen. Ion halogen sendiri bersifat menghambat korosi hingga tingkat tertentu pada larutan asam. Ion-ion lain seperti iodida, bronida, klorida, dan ion fluorida yang menghambat laju korosi pada pada baja di dalam asam belerang (sulfuric acid).
4.      Precipitate inducing inhibitor
Inhibitor penyebab pengendapan adalah sejenis senyawa pembentuk film yang menutupi keseluruh permukaan metal sehingga secara tidak langsung mengganggu daerah katoda dan anoda sekaligus. Jenis yang paling utama adalah silikat dan fosfat. Dalam air yang hampir netral yang mengandung sedikit konsentrasi silikat, fosfat dan klorida menyebabkan pasifasi pada baja akibat terdapat kandungan oksigen pada air tersebut. Sehingga unsur-unsur tersebut bersifat inhibitor anodik. Apabila jumlah fosfat atau silikat yang ditambahkan dalam air yang asin sedikit, maka akan timbul korosi sumuran.
Namun demikian baik silikat atau fosfat akan membentuk lapisan endapan dipermukaan baja yang meningkatkan polarisasi katodik, sehingga sifat tersebut dikatakan mixed (kombinasi pengaruh anodik dan katodik). Zat silikat sering digunakan di dalam air dengan salinitas rendah yang mengandung oksigen larut. Zat ini mampu menghambat korosi pada permukaan baja yang telah terkorosi atau berkerak. Sedangkan jumlah silikat untuk melindungi, bergantung pada tingkat salinitas air.
5.      Vapor phase inhibitor
Inhibitor bentuk uap adalah senyawa yang dialirkan dalam sistem tertutup ke bagian yang terkorosi dengan penguapan dari asalnya. Di dalam ketel uap, dasar senyawa yang mudah menguap (volatil) seperti morpholine atau ethyline diamine dicampur dengan uap air untuk mencegah korosi di dalam tube kondenser dengan menetralisir karbon dioksida yang bersifat asam. Senyawa ini menghambat korosi dengan menciptakan suasana alkalin. Zat padat volatil seperti garam nitrit, karbonat, benzoat dari dicyclohexylamine, cyclohexylamine dan hexylamethylene-amine yang dipergunakan sebagai penghambat laju korosi. Proses terjadinya adalah sewaktu menyinggung permukaan metal, uap inhibitor mengembun (kondensasi) dan dihidrolisa oleh kelembaban yang ada untuk membebaskan ion-ion nitrit, benzoat atau bikarbonat. Karena keberadaan oksigen, ion-ion ini mampu membuat pasif baja sebagaimana pada kondisi normal dalam air.



6.      Beberapa Masalah dalam Penggunaan Inhibitor
Adapun masalah-masalah yang akan timbul dalam penggunanan inhibitor sebagai penghambat laju korosi sebagai berikut.
1.      Pembuihan (foaming)
Sifat zat inhibitor sebagai sabun (deterjen). Akibat pengaruhnya (organic inhibitor) terhadap permukaan karena fungsinya diserap oleh permukaan tersebut. Foaming terjadi pada peralatan yang mengandung gas dan gerakan agitasi. Untuk mencegah hal tersebut perlu diinjeksikan zat anti foaming atau menggunakan inhibitor secara tepat.
2.      Terjadi Emulsi
Terjadinya emulsi karena terdapatnya fase-fase gas dan cairan yang bercampur atau dua jenis cairan yang bercampur disertai gerakan agitasi. Dalam hal ini inhibitor berlaku sebagai stabilisator emulsi. Untuk mengatasi masalah tersebut ditambahkan zat demulsifier.
3.      Penyumbatan (plugging)
Ada jenis inhibitor tertentu dapat mengakibatkan terkelupasnya lapisan oksida atau kerak yang sudah ada pada permukaaa baja, sehingga kerak tersebut ikut aliran  dan menyumbat pada opening-opening kecil seperti filter, tubing dan lain-lain. Untuk mengatasinya peralatan dibersihkan dahulu permukaannya dari kerak-kerak sebelum diberi inhibitor. Atau melindungi sistem dengan filter untuk menyaring kerak yang terlepas.
4.      Terciptanya masalah korosi baru
Pemberian inhibitor diharapkan mampu menghambat laju korosi suatu metal yang dilindungi. Namun dalam waktu yang bersamaan inhibitor justru mempercepat laju korosi. Misalnya beberapa amine melindungi baja dengan baik, namun akan semakin menyerang metal baja dan kuningan. Untuk itu perlu diperhatikan susunan kimia material dan sifat-sifat inhibitor yang akan dilindungi metal dari korosi.
5.      Masalah Heat Transfer
Adanya endapan fosfat, silikat atau sulfat sebagai zat inhibitor secara berlebihan pada permukaan alat penukar kalori, dapat menimbulkan masalah karena mengurangi pertukaran panas sehingga mengurangi efisiensi alat tersebut. Maka dari itu perlunya pemberian zat tidak berlebihan atau dipertahankan dalam batas minimum.
6.      Pengaruh beracun
Pengaruh beracun harus dipikirkan dari zat inhibitor terhadap panca indra. Maka dalam pemilihan harus sangat hati-hati dan teliti. Serta perlakuan atau pemrosesan yang benar akan mengurangi resiko ini.
7.      Kehilangan inhibitor
Pada proses inhibition tidak akan efektif bila terjadi kehilangan zat sebelum sempat berhubungan dengan permukaan metal atau sebelum terciptanya perubahan yang dikehendaki. Suatu inhibitor akan menghilang karena pengendapan (presipitation), proses absorpsi dan reaksi dengan komponen sistem yang dilindungi atau karena mudah larut atau terlalu lambat pelarutannya. Misalnya proses pengendapan fosfat oleh ion kalsium, reaksi antara kromat dan sulfida, proses adsorpsi zat inhibitor pada butir padat yang mengembang (suspended solid) dan penginjeksian zat inhibitor yang sulit larut tanpa bahan pelarut (dispersing agent).

7.  Pengendalian Korosi
            Korosi tidak mungkin sepenuhnya dapat dicegah karena memang merupakan proses alamiah bahwa semuanya akan kembali ke sifat asalnya. Asalnya dari tanah maka akan kembali ke tanah. Hal ini adalah siklus alam yang akan terus terjadi selama kesetimbangan alam belum tercapai. Namun demikian pengendalian dan pencegahan korosi harus tetap dilakukan secara maksimal, karena dilihat dari segi ekonomi dan dari segi keamanan merupakan hal yang tidak boleh ditinggalkan dan dibiarkan begitu saja.
Pengendalian korosi harus dimulai dari suatu perencanaan, pengumpulan data lingkungan, proses, peralatan dan bahan yang dipakai serta pemeliharaan yang akan diterapkan. Adapun metode-metode yang dilakukan dalam pengendalian korosi sebagai berikut:
1.  Pengubahan lingkungan
2.  Pemilihan bahan
3.  Modifikasi rancangan
4.  Teknik pelapisan
5.  Proteksi anodik dan katodik

·         Korosi Lingkungan Industri
            Korosi dilingkungan industri yang menggunakan bahan kimia seperti pada pembuatan H2SO4, HNO, HCl dan sebagainya maka akan sangat korosif sekali. Yang akan terjadi di sini dapat saja sejak mesin dan fasilitas lainya  sehingga seringkali menimbulkan hal yang fatal. Oleh karena itu pengendalian korosi di daerah ini adalah paling pelik
             Tujuan pengendalian korosi  dilingkungan Industri:
1.      Untuk menjaga, stabilitas, kelancaran dan mencapainya tugas dari Industri itu sendiri
2.      Bahwa dengan pengendalian maka nilai ekonomis dari seluruh Industri akan tidak menyusut secara dramatis.
Ø  HF bila tercampur air dan O2 juga sangat korosif
Ø  SO2 di atas kelembaban relatif (±70%), akan membentuk SO3  dan H2SO4 sangat koroasif pada logam.
Ø  NH3 dalam lembab sangat merusak pada paduan tembaga, macam macam yang biasa adalah lingkungan Industri  Cl2, Br2, dan J2 ternyata dalam udara lembab akan sangat korosif.
Pengendalian korosi dilingkungan Industri.
1)      Dipilih/ Dicari bahan logam untuk kontruksi yang paling ekonomis tapi teknis   masih dapat dipertanggungjawabkAN.
2)      Dapat pula memilih bahan non logam seperti plastik keramik beton dan sebagainya. Dengan tidak boleh melupakan kondisi kerjA.
3)      Memberi logam lindung yang tepat atau lapis lindung lainya.
Didalam air terdapat beberapa unsur seperti oksigen terlarut,sodium klorida,kalsium sulfat,kalsium karbonat,dan unsur kimia lainnya.sebagian unsur-unsur yang terdapat didalam air merupakan ion – ion agresif, sehingga kemungkinan besar akan terjadi suatu reaksi. Jika reaksi ini terjadi pada logam, maka reaksi dinamakan korosi.





Kamis, 19 Januari 2012

pengujian material


BAB 1
PENGUJIAN TARIK
1.1. Prinsip pengujian
Sampel atau benda uji dengan ukuran dan bentuk tertentu ditarik dengan beban kontinyu sambil diukur pertambahan panjangnya. Data yang didapat berupa perubahan panjang dan perubahan beban yang selanjutnya ditampilkan dalam bentuk grafik tegangan-regangan, sebagaimana ditunjukkan oleh Gambar 1.1. Data-data penting yang diharapkan didapat dari pengujian tarik ini adalah: perilaku mekanik material dan karakteristik perpatahan.
1.1.1. Perilaku mekanik material
Pengujian tarik yang dilakukan pada suatu material padatan (logam dan nonlogam) dapat memberikan keterangan yang relatif lengkap mengenai perilaku material tersebut terhadap pembebanan mekanis. Informasi penting yang bisa didapat adalah:
a. Batas proporsionalitas (proportionality limit)
Merupakan daerah batas dimana tegangan dan regangan mempunyai hubungan proporsionalitas satu dengan lainnya. Setiap penambahan tegangan akan diikuti dengan penambahan regangan secara proporsional dalam hubungan linier σ = Eε (bandingkan dengan hubungan y = mx; dimana y mewakili tegangan; x mewakili regangan dan m mewakili slope kemiringan dari modulus kekakuan). Titik P pada Gambar 1.1 di bawah ini menunjukkan batas proporsionalitas dari kurva tegangan-regangan.
Gambar 1.1. Kurva tegangan-regangan dari sebuah benda uji terbuat baja ulet
b. Batas elastis (elastic limit)
Daerah elastis adalah daerah dimana bahan akan kembali kepada panjang semula bila tegangan luar dihilangkan. Daerah proporsionalitas merupakan bahagian dari batas elastik ini. Selanjutnya bila bahan terus diberikan tegangan (deformasi dari luar) maka batas elastis akan terlampaui pada akhirnya sehingga bahan tidak akan kembali kepada ukuran semula. Dengan kata lain dapat didefinisikan bahwa batas elastis merupakan suatu titik dimana tegangan yang diberikan akan menyebabkan terjadinya deformasi permanen (plastis) pertama kalinya. Kebanyakan material teknik memiliki batas elastis yang hampir berimpitan dengan batas proporsionalitasnya.
c. Titik luluh (yield point) dan kekuatan luluh (yield strength)
Titik ini merupakan suatu batas dimana material akan terus mengalami deformasi tanpa adanya penambahan beban. Tegangan (stress) yang mengakibatkan bahan menunjukkan mekanisme luluh ini disebut tegangan luluh (yield stress). Titik luluh ditunjukkan oleh titik Y
pada Gambar 1.1 di atas. Gejala luluh umumnya hanya ditunjukkan oleh logam-logam ulet dengan struktur Kristal BCC dan FCC yang membentuk interstitial solid solution dari atom-atom carbon, boron, hidrogen dan oksigen. Interaksi antara dislokasi dan atom-atom tersebut menyebabkan baja
ulet eperti mild steel menunjukkan titik luluh bawah (lower yield point) dan titik luluh atas
(upper yield point). Baja berkekuatan tinggi dan besi tuang yang getas umumnya tidak memperlihatkan batas luluh yang jelas. Untuk menentukan kekuatan luluh material seperti ini maka digunakan suatu metode yang dikenal sebagai Metode Offset. Dengan metode ini kekuatan luluh (yield strength) ditentukan sebagai tegangan dimana bahan memperlihatkan batas penyimpangan/deviasi tertentu dari proporsionalitas tegangan dan regangan . Pada Gambar 1.2 di bawah ini garis offset OX ditarik paralel dengan OP, sehingga perpotongan XW dan kurva tegangan-regangan memberikan titik Y sebagai kekuatan luluh. Umumnya garis offset OX diambil 0.1 – 0.2% dari regangan total dimulai dari titik O.
Gambar 1.2. Kurva tegangan-regangan dari sebuah benda uji terbuat dari bahan getas
Kekuatan luluh atau titik luluh merupakan suatu gambaran kemampuan bahan menahan deformasi permanen bila digunakan dalam penggunaan struktural yang melibatkan pembebanan mekanik seperti tarik, tekan bending atau puntiran. Di sisi lain, batas luluh ini harus dicapai ataupun dilewati bila bahan (logam) dipakai dalam proses manufaktur produk-produk logam seperti proses rolling, drawing, stretching dan sebagainya. Dapat dikatakan
bahwa titik luluh adalah suatu tingkat tegangan yang:
Tidak boleh dilewati dalam penggunaan struktural (in service)
Harus dilewati dalam proses manufaktur logam (forming process)
c. Kekuatan tarik maksimum (ultimate tensile strength)
Merupakan tegangan maksiumum yang dapat ditanggung oleh material sebelum terjadinya perpatahan (fracture). Nilai kekuatan tarik maksimum σ uts ditentukan dari beban maksimum Fmaks dibagi luas penampang awal Ao.
UTS = F maks
A
Pada bahan ulet tegangan maksimum ini ditunjukkan oleh titik M (Gambar 1.1) dan selanjutnya bahan akan terus berdeformasi hingga titik B. Bahan yang bersifat getas memberikan perilaku yang berbeda dimana tegangan maksimum sekaligus tegangan perpatahan (titik B pada Gambar 1.2). Dalam kaitannya dengan penggunaan structural maupun dalam proses forming bahan, kekuatan maksimum adalah batas tegangan yang sama sekali tidak boleh dilewati.
d. Kekuatan Putus (breaking strength)
Kekuatan putus ditentukan dengan membagi beban pada saat benda uji putus (Fbreaking) dengan luas penampang awal Ao. Untuk bahan yang bersifat ulet pada saat beban maksimum M terlampaui dan bahan terus terdeformasi hingga titik putus B maka terjadi mekanisme penciutan (necking) sebagai akibat adanya suatu deformasi yang terlokalisasi. Pada bahan ulet kekuatan putus adalah lebih kecil daripada kekuatan maksimum sementara pada bahan getas kekuatan putus adalah sama dengan kekuatan maksimumnya.
e. Keuletan (ductility)
Keuletan merupakan suatu sifat yang menggambarkan kemampuan logam menahan deformasi hingga terjadinya perpatahan. Sifat ini , dalam beberapa tingkatan, harus dimiliki oleh bahan bila ingin dibentuk (forming) melalui proses rolling, bending, stretching, drawing, hammering, cutting dan sebagainya. Pengujian tarik memberikan dua metode pengukuran keuletan bahan yaitu:
Persentase perpanjangan (elongation)
Diukur sebagai penambahan panjang ukur setelah perpatahan terhadap panjang awalnya.
Ø  Elongasi, ε (%) = [(Lf-Lo)/Lo] x 100%  
dimana Lf adalah panjang akhir dan Lo panjang awal dari benda uji.
Persentase pengurangan/reduksi penampang (Area Reduction)
Diukur sebagai pengurangan luas penampang (cross-section) setelah perpatahan terhadap
luas penampang awalnya.
Ø  Reduksi penampang, R (%) = [(Ao-Af)/Ao] x 100%
dimana Af adalah luas penampang akhir dan Ao luas penampang awal.
f. Modulus elastisitas (E)
Modulus elastisitas atau modulus Young merupakan ukuran kekakuan suatu material. Semakin besar harga modulus ini maka semakin kecil regangan elastis yang terjadi pada suatu tingkat pembebanan tertentu, atau dapat dikatakan material tersebut semakin kaku (stiff). Pada grafik tegangan-regangan (Gambar 1.1 dan 1.2), modulus kekakuan tersebut dapat dihitung dari slope kemiringan garis elastis yang linier, diberikan oleh:
Ø  E = σ/ε atau E = tan α (1.4)
dimana α adalah sudut yang dibentuk oleh daerah elastis kurva tegangan-regangan. Modulus
elastisitas suatu material ditentukan oleh energi ikat antar atom-atom, sehingga besarnya nilai modulus ini tidak dapat dirubah oleh suatu proses tanpa merubah struktur bahan. Sebagai contoh diberikan oleh Gambar 1.3 di bawah ini yang menunjukkan grafik tegangan-regangan beberapa jenis baja:
Gambar 1.3. Grafik tegangan-regangan beberapa baja yang memperlihatkan kesamaan modulus kekakuan
g. Modulus kelentingan (modulus of resilience)
Mewakili kemampuan material untuk menyerap energi dari luar tanpa terjadinya kerusakan. Nilai modulus dapat diperoleh dari luas segitiga yang dibentuk oleh area elastik diagram tegangan-regangan pada Gambar 1.1.
h. Modulus ketangguhan (modulus of toughness)
Merupakan kemampuan material dalam menyerap energi hingga terjadinya perpatahan. Secara kuantitatif dapat ditentukan dari luas area keseluruhan di bawah kurva teganganregangan hasil pengujian tarik seperti Gambar 1.1. Pertimbangan disain yang mengikut sertakan modulus ketangguhan menjadi sangat penting untuk komponen-komponen yang mungkin mengalami pembebanan berlebih secara tidak disengaja. Material dengan modulus ketangguhan yang tinggi akan mengalami distorsi yang besar karena pembebanan berlebih, tetapi hal ini tetap disukai dibandingkan material dengan modulus yang rendah dimana perpatahan akan terjadi tanpa suatu peringatan terlebih dahulu.
i. Kurva tegangan-regangan rekayasa dan sesungguhnya
Kurva tegangan-regangan rekayasa didasarkan atas dimensi awal (luas area dan panjang) dari benda uji, sementara untuk mendapatkan kurva tegangan-regangan sesungguhnya diperlukan luas area dan panjang aktual pada saat pembebanan setiap saat terukur. Perbedaan kedua kurva tidaklah terlampau besar pada regangan yang kecil, tetapi menjadi signifikan pada rentang terjadinya pengerasan regangan (strain hardening), yaitu setelah titik luluh terlampaui. Secara khusus perbedaan menjadi demikian besar di dalam daerah necking. Pada kurva tegangan-regangan rekayasa, dapat diketahui bahwa benda uji secara aktual mampu menahan turunnya beban karena luas area awal Ao bernilai konstan pada saat penghitungan tegangan σ = P/Ao. Sementara pada kurva tegangan-regangan sesungguhnya luas area actual adalah selalu turun hingga terjadinya perpatahan dan benda uji mampu menahan peningkatan tegangan karena σ = P/A. Gambar 1.4 di bawah ini memperlihatkan contoh kedua kurva tegangan-regangan tersebut pada baja karbon rendah (mild steel).
1.1.2. Mode Perpatahan Material
Sampel hasil pengujian tarik dapat menunjukkan beberapa tampilan perpatahan seperti diilustrasikan oleh Gambar 1.5 di bawah ini:
Perpatahan ulet memberikan karakteristk berserabut (fibrous) dan gelap (dull), sementara perpatahan getas ditandai dengan permukaan patahan yang berbutir (granular) dan terang. Perpatahan ulet umumnya lebih disukai karena bahan ulet umumnya lebih tangguh dan memberikan peringatan lebih dahulu sebelum terjadinya kerusakan Pengamatan kedua tampilan perpatahan itu dapat dilakukan baik dengan mata telanjang maupun dengan bantuan stereoscan macroscope. Pengamatan lebih detil dimungkinkan dengan penggunaan SEM (Scanning Electron Microscope).

a. Perpatahan Ulet
Gambar 1.6 di bawah ini memberikan ilustrasi skematis terjadinya perpatahan ulet pada suatu spesimen yang diberikan pembebanan tarik:
Gambar 1.6 . Tahapan terjadinya perpatahan ulet pada sampel uji tarik:
 (a) Penyempitan awal
(b) Pembentukan rongga-rongga kecil (cavity)
(c) Penyatuan rongga-rongga membentuk suatu Retakan
 (d) Perambatan retak
 (e) Perpatahangeser akhir pada sudut 45°.
b. Perpatahan Getas
Perpatahan getas memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. Tidak ada atau sedikit sekali deformasi plastis yang terjadi pada material
2. Retak/perpatahan merambat sepanjang bidang-bidang kristalin membelah atom-atom
material (transgranular).
3. Pada material lunak dengan butir kasar (coarse-grain) maka dapat dilihat pola-pola yang     dinamakan chevrons or fan-like pattern yang berkembang keluar dari daerah awal kegagalan.
4. Material keras dengan butir halus (fine-grain) tidak memiliki pola-pola yang mudah dibedakan.
5. Material amorphous (seperti gelas) memiliki permukaan patahan yang bercahaya dan mulus.

BAB 2
PENGUJIAN KEKERASAN
2.1. Prinsip pengujian
Dari uraian singkat di atas maka kekerasan suatu material dapat didefinisikan sebagai ketahanan material tersebut terhadap gaya penekanan dari material lain yang lebih keras. Penekanan tersebut dapat berupa mekanisme penggoresan (scratching), pantulan ataupun  indentasi dari material keras terhadap suatu permukaan benda uji. Berdasarkan mekanisme penekanan tersebut, dikenal 3 metode uji kekerasan:
2.1.1. Metode gores
Metode ini tidak banyak lagi digunakan dalam dunia metalurgi dan material lanjut, tetapi masih sering dipakai dalam dunia mineralogi. Metode ini dikenalkan oleh Friedrich Mohs yang membagi kekerasan material di dunia ini berdasarkan skala (yang kemudian dikenal sebagai skala Mohs). Skala ini bervariasi dari nilai 1 untuk kekerasan yang paling rendah, sebagaimana dimiliki oleh material talk, hingga skala 10 sebagai nilai kekerasan tertinggi, sebagaimana dimiliki oleh intan. Dalam skala Mohs urutan nilai kekerasan material di dunia ini diwakili oleh:
1. Talc 6. Orthoclase
2. Gipsum 7. Quartz
3. Calcite 8. Topaz
4. Fluorite 9. Corundum
5. Apatite 10. Diamond (intan)
Prinsip pengujian:
bila suatu mineral mampu digores oleh Orthoclase (no. 6) tetapi tidak mampu digores oleh Apatite (no. 5), maka kekerasan mineral tersebut berada antara 5 dan 6. Berdasarkan hal ini, jelas terlihat bahwa metode ini memiliki kekurangan utama berupa ketidak akuratan nilai kekerasan suatu material. Bila kekerasan mineral-mineral diuji dengan metode lain, ditemukan bahwa nilai-nilainya berkisar antara 1-9 saja, sedangkan nilai 9-10 memiliki rentang yang besar.
2.1.2 Metode elastik/pantul (rebound)
Dengan metode ini, kekerasan suatu material ditentukan oleh alat Scleroscope yang mengukur tinggi pantulan suatu pemukul (hammer) dengan berat tertentu yang dijatuhkan dari suatu ketinggian terhadap permukaan benda uji. Tinggi pantulan (rebound) yang dihasilkan mewakili kekerasan benda uji. Semakin tinggi pantulan tersebut, yang ditunjukkan oleh dial pada alat pengukur, maka kekerasan benda uji dinilai semakin tinggi.
2.1.3. Metode indentasi
Pengujian dengan metode ini dilakukan dengan penekanan benda uji dengan indentor dengan gaya tekan dan waktu indentasi yang ditentukan. Kekerasan suatu material ditentukan oleh dalam ataupun luas area indentasi yang dihasilkan (tergantung jenis indentor dan jenis pengujian). Berdasarkan prinsip bekerjanya metode uji kekerasan dengan cara indentasi dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a. Metode Brinell
Metode ini diperkenalkan pertama kali oleh J.A. Brinell pada tahun 1900. Pengujian kekerasan dilakukan dengan memakai bola baja yang diperkeras (hardened steel ball) dengan beban dan waktu indentasi tertentu, sebagaimana ditunjukkan oleh Gambar 2.1. Hasil penekanan adalah jejak berbentuk lingkaran bulat, yang harus dihitung diameternya di bawah mikroskop khusus pengukur jejak. Contoh pengukuran hasil penjejakan diberikan oleh Gambar 2.2. Pengukuran nilai kekerasan suatu material diberikan oleh rumus:
dimana P adalah beban (kg), D diameter indentor (mm) dan d diameter jejak (mm).
Prosedur standar pengujian mensyaratkan bola baja dengan diameter 10 mm dan beban 3000 kg untuk pengujian logam-logam ferrous, atau 500 kg untuk logam-logam non-ferrous. Untuk logam-logam ferrous, waktu indentasi biasanya sekitar 10 detik sementara untuk logamlogam non-ferrous sekitar 30 detik. Walaupun demikian pengaturan beban dan waktu indentasi untuk setiap material dapat pula ditentukan oleh karakteristik alat penguji. Nilai kekerasan suatu material yang dinotasikan dengan ‘HB’ tanpa tambahan angka di belakangnya menyatakan kondisi pengujian standar dengan indentor bola baja 10 mm, beban 3000 kg selama waktu 1—15 detik. Untuk kondisi yang lain, nilai kekerasan HB diikuti angka-angka yang menyatakan kondisi pengujian. Contoh: 75 HB 10/500/30 menyatakan nilai kekerasan Brinell sebesar 75 dihasilkan oleh suatu pengujian dengan indentor 10 mm, pembebanan 500 kg selama 30 detik.

b. Metode Vickers
Pada metode ini digunakan indentor intan berbentuk piramida dengan sudut 136o, seperti diperlihatkan oleh Gambar 2.3. Prinsip pengujian adalah sama dengan metode Brinell, walaupun jejak yang dihasilkan berbentuk bujur sangkar berdiagonal. Panjang diagonal diukur dengan skala pada mikroskop pengujur jejak. Nilai kekerasan suatu material diberikan oleh:

VHN = 1.854 P
            d2
dimana d adalah panjang diagonal rata-rata dari jejak berbentuk bujur sangkar.
Gambar 2.3. Skematis prinsip indentasi dengan metode Vickers
c. Metode Rockwell
Berbeda dengan metode Brinell dan Vickers dimana kekerasan suatu bahan dinilai dari diameter/diagonal jejak yang dihasilkan maka metode Rockwell merupakan uji kekerasan dengan pembacaan langsung (direct-reading). Metode ini banyak dipakai dalam industry karena pertimbangan praktis. Variasi dalam beban dan indetor yang digunakan membuat metode ini memiliki banyak macamnya. Metode yang paling umum dipakai adalah Rockwell B (dengan indentor bola baja berdiameter 1/6 inci dan beban 100 kg) dan Rockwell C (dengan indentor intan dengan beban 150 kg). Walaupun demikian metode Rockwell lainnya juga biasa dipakai. Oleh karenanya skala kekerasan Rockwell suatu material harus dispesifikasikan dengan jelas. Contohnya 82 HRB, yang menyatakan material diukur dengan skala B: indentor 1/6 inci dan beban 100 kg. Berikut ini diberikan Tabel 2.1 yang memperlihatkan perbedaan skala dan range uji dalam skala Rockwell:
Tabel 2.1. Skala pada Metode Uji Kekerasan Rockwell

BAB 3
PENGUJIAN IMPAK
3.1. Prinsip pengujian
Dasar pengujian impak ini adalah penyerapan energi potensial dari pendulum beban yang berayun dari suatu ketinggian tertentu dan menumbuk benda uji sehingga benda uji mengalami deformasi. Gambar 3.1 di bawah ini memberikan ilustrasi suatu pengujian impak dengan metode Charpy:
Gambar 3.1. Ilustrasi skematis pengujian impak dengan benda uji Charpy
Pada pengujian impak ini banyaknya energi yang diserap oleh bahan untuk terjadinya perpatahan merupakan ukuran ketahanan impak atau ketangguhan bahan tersebut. Pada Gambar 3.1 di atas dapat dilihat bahwa setelah benda uji patah akibat deformasi, bandul pendulum melanjutkan ayunannya hingga posisi h’. Bila bahan tersebut tangguh yaitu makin mampu menyerap energi lebih besar maka makin rendah posisi h’. Suatu material dikatakan tangguh bila memiliki kemampuan menyerap beban kejut yang besar tanpa terjadinya retak atau terdeformasi dengan mudah. Pada pengujian impak, energi yang diserap oleh benda uji biasanya dinyatakan dalam satuan Joule dan dibaca langsung pada skala (dial) penunjuk yang telah dikalibrasi yang terdapat pada mesin penguji. Harga impak (HI) suatu bahan yang diuji dengan metode Charpy diberikan oleh :

HI = E
       A
dimana E adalah energi yang diserap dalam satuan Joule dan A luas penampang di bawah takik dalam satuan mm2. Secara umum benda uji impak dikelompokkan ke dalam dua golongan sampel standar yaitu :  batang uji Charpy sebagaimana telah ditunjukkan pada Gambar 1, banyak digunakan di Amerika Serikat dan batang uji Izod yang lazim digunakan di Inggris dan Eropa. Benda uji Charpy memiliki luas penampang lintang bujur sangkar (10 x 10 mm) dan memiliki takik (notch) berbentuk V dengan sudut 45o, dengan jari-jari dasar 0,25 mm dan kedalaman 2 mm. Benda uji diletakkan pada tumpuan dalam posisi mendatar dan bagian yang bertakik diberi beban impak dari ayunan bandul, sebagaimana telah ditunjukkan oleh Gambar 3.1. Benda uji Izod mempunyai penampang lintang bujur sangkar atau lingkaran dengan takik V di dekat ujung yang dijepit. Perbedaan cara pembebanan antara metode Charpy dan Izod ditunjukkan oleh Gambar 3.2 di bawah ini:

Gambar 3.2. Ilustrasi skematik pembebanan impak pada benda uji Charpy dan Izod

Serangkaian uji Charpy pada satu material umumnya dilakukan pada berbagai temperature sebagai upaya untuk mengetahui temperatur transisi (akan diterangkan pada paragrafparagraf selanjutnya). Sementara uji impak dengan metode Izod umumnya dilakukan hanya pada temperatur ruang dan ditujukan untuk material-material yang didisain untuk berfungsi sebagai cantilever. Takik (notch) dalam benda uji standar ditujukan sebagai suatu konsentrasi tegangan sehingga perpatahan diharapkan akan terjadi di bagian tersebut. Selain berbentuk V dengan sudut 45o, takik dapat pula dibuat dengan bentuk lubang kunci (key hole). Pengukuran lain yang biasa dilakukan dalam pengujian impak Charpy adalah penelaahan permukaan perpatahan untuk menentukan jenis perpatahan (fracografi) yang terjadi. Secara umum sebagaimana analisis perpatahan pada benda hasil uji tarik maka perpatahan impak digolongkan menjadi 3 jenis, yaitu:
1. Perpatahan berserat (fibrous fracture), yang melibatkan mekanisme pergeseran bidang bidang
kristal di dalam bahan (logam) yang ulet (ductile). Ditandai dengan permukaan patahan berserat yang berbentuk dimpel yang menyerap cahaya dan berpenampilan buram.
2. Perpatahan granular/kristalin, yang dihasilkan oleh mekanisme pembelahan (cleavage) pada butir-butir dari bahan (logam) yang rapuh (brittle). Ditandai dengan permukaan patahan yang datar yang mampu memberikan daya pantul cahaya yang tinggi (mengkilat).
3. Perpatahan campuran (berserat dan granular). Merupakan kombinasi dua jenis perpatahan di atas.
Selain dengan harga impak yang ditunjukkan oleh alat uji, pengukuran ketangguhan suatu bahan dapat dilakukan dengan memperkirakan berapa persen patahan berserat dan patahan kristalin yang yang dihasilkan oleh benda uji yang diuji pada temperatur tertentu. Semakin banyak persentase patahan berserat maka dapat dinilai semakin tangguh bahan tersebut. Cara ini dapat dilakukan dengan mengamati permukaan patahan benda uji di bawah miskroskop stereoscan. Informasi lain yang dapat dihasilkan dari pengujian impak adalah temperatur transisi bahan. Temperatur transisi adalah temperatur yang menunjukkan transisi perubahan jenis perpatahan suatu bahan bila diuji pada temperatur yang berbeda-beda. Pada pengujian dengan temperatur yang berbeda-beda maka akan terlihat bahwa pada temperatur tinggi material akan bersifat ulet (ductile) sedangkan pada temperatur rendah material akan bersifat rapuh atau getas (brittle). Fenomena ini berkaitan dengan vibrasi atom-atom bahan pada temperatur yang berbeda dimana pada temperatur kamar vibrasi itu berada dalam kondisi kesetimbangan dan selanjutnya akan menjadi tinggi bila temperatur dinaikkan (ingatlah bahwa energi panas merupakan suatu driving force terhadap pergerakan partikel atom bahan). Vibrasi atom inilah yang berperan sebagai suatu penghalang (obstacle) terhadap pergerakan dislokasi pada saat terjadi deformasi kejut/impak dari luar. Dengan semakin tinggi vibrasi itu maka pergerakan dislokasi mejadi relatif sulit sehingga dibutuhkan energi yang lebih besar untuk mematahkan benda uji. Sebaliknya pada temperatur di bawah nol derajat Celcius, vibrasi atom relatif sedikit sehingga pada saat bahan dideformasi pergerakan dislokasi menjadi lebih mudah dan benda uji menjadi lebih mudah dipatahkan dengan energi yang relatif lebih rendah. Informasi mengenai temperatur transisi menjadi demikian penting bila suatu material akan didisain untuk aplikasi yang melibatkan rentang temperatur yang besar, misalnya dari temperatur di bawah nol derajat Celcius hingga temperatur tinggi di atas 100 derajat Celcius, contoh sistem penukar panas (heat exchanger). Hampir semua logam berkekuatan rendah dengan struktur kristal FCC seperti tembaga dan aluminium bersifat ulet pada semua temperatur sementara bahan dengan kekuatan luluh yang tinggi bersifat rapuh. Bahan keramik, polimer dan logam-logam BCC dengan kekuatan luluh rendah dan sedang memiliki transisi rapuh-ulet bila temperatur dinaikkan. Hampir semua baja karbon yang dipakai pada  jembatan, kapal, jaringan pipa dan sebagainya bersifat rapuh pada temperatur rendah. Gambar 3.4 memberikan ilustrasi efek temperatur terhadap ketangguhan impak beberapa bahan, sedangkan Gambar 3.5 menyajikan bentuk benda uji impak berdasarkan ASTM E-23-56T.


Gambar 3.4. Efek temperatur terhadap ketangguhan impak beberapa material

Gambar 3.5. Bentuk dan dimensi benda uji impak berdasarkan ASTM E23-56T