BAB 1.
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Hampir setiap hari kita membutuhkan
plastik untuk berbagai hal, yakni sebagai pembungkus makanan, alas makan dan
minum, untuk keperluan sekolah, kantor, dan sebagainya. Hal ini dikarenakan
plastik memiliki sifat unggul seperti ringan tetapi kuat, transparan, tahan air
serta harganya relatif murah dan terjangkau oleh semua kalangan masyarakat.
Namun, plastik yang beredar di pasaran
saat ini merupakan polimer sintetik yang terbuat dari minyak bumi yang sulit
untuk terurai di alam. Akibatnya semakin banyak yang menggunakan plastik, akan
semakin meningkat pula pencemaran lingkungan seperti penurunan kualitas air dan
tanah menjadi tidak subur.
Untuk menyelamatkan lingkungan dari bahaya
plastik, saat ini telah dikembangkan plastik biodegradable, artinya plastik ini
dapat duraikan kembali mikroorganisme secara alami menjadi senyawa yang ramah
lingkungan. Biasanya plastik konvensional berbahan dasar petroleum, gas
alam, atau batu bara. Sementara plastik biodegradable terbuat dari material
yang dapat diperbaharui, yaitu dari senyawa-senyawa yang terdapat dalam tanaman
misalnya selulosa, kolagen,
kasein, protein atau lipid yang terdapat dalam hewan.
Jenis plastik biodegradable antara lain polyhidroksialkanoat
(PHA) dan poli-asam amino yang berasal dari sel bakteri, polylaktida
(PLA) yang merupakan modifikasi asam laktat hasil perubahan zat tepung kentang
atau jagung oleh mikroorganisme, dan poliaspartat sintesis yang dapat
terdegradasi. Bahan dasar plastik berasal dari selulosa bakteri, kitin,
kitosan, atau tepung yang terkandung dalam tumbuhan, serta beberapa material
plastik atau polimer lain yang terdapat di sel tumbuhan dan hewan.
Plastik biodegradable berbahan dasar tepung
dapat didegradasi bakteri pseudomonas dan bacillus memutus rantai polimer menjadi
monomer-monomernya . Senyawa-senyawa hasil degradasi polimer selain
menghasilkan karbon dioksida dan air, juga menghasilkan senyawa organik lain
yaitu asam organik dan aldehid yang tidak berbahaya bagi lingkungan.
Plastik berbahan dasar tepung aman bagi
lingkungan. Sebagai perbandingan, plastik tradisional membutuhkan waktu sekira
50 tahun agar dapat terdekomposisi alam, sementara plastik biodegradable dapat
terdekomposisi 10 hingga 20 kali lebih cepat.
Hasil degradasi plastik ini dapat
digunakan sebagai makanan hewan ternak atau sebagai pupuk kompos. Plastik biodegradable
yang terbakar tidak menghasilkan senyawa kimia berbahaya. Kualitas tanah akan
meningkat dengan adanya plastik biodegradable, karena hasil penguraian mikroorganisme
meningkatkan unsur hara dalam tanah.
Sampai saat ini masih diteliti berapa
cepat atau berapa banyak polimer biodegradable ini dapat diuraikan alam. Di samping
itu, penambahan tepung pada pembuatan polimer biodegradable menambah biaya
pembuatan plastik.
Namun ini menjadi potensi yang besar di
Indonesia, karena terdapat berbagai tanaman penghasil tepung seperti singkong,
beras, kentang, dan tanaman lainnya. Apalagi harga umbi-umbian di Indonesia
relatif rendah. Dengan memanfaatkan sebagai bahan plastik biodegradable, akan
memberi nilai tambah ekonomi yang tinggi. Penelitian lebih lanjut sangat
diperlukan. Bukan tidak mungkin kelak Indonesia menjadi produsen terbesar
plastik biodegradable
di dunia.
Jerman, India, Australia, Jepang, dan
Amerika adalah negara yang paling intensif mengembangkan riset plastik biodegradable dan
mempromosikan penggunaannya menggantikan plastik konvensional. Produk industri
berbahan dasar plastik mulai menggunakan bahan biodegradable. Fujitsu,
perusahaan komputer besar di Jepang telah menggunakan plastik biodegradable ini
pada semua casing
produknya. Komunitas internasional sepakat, penggunaan bahan
polimer sintetis yang ramah lingkungan harus terus ditingkatkan.
Sementara itu, penggunaan di Indonesia
masih jauh panggang dari api. Padahal sudah jelas potensi bahan baku pembuatan
plastik biodegradable
sangat besar di Indonesia. Tampaknya perlu dukungan dari semua
pihak terutama pemerintah selaku regulator, industri kimia dan proses, serta
kesadaran dari seluruh masyarakat. Harus ada kerja sama diantara banyak pihak
untuk mendukung penerapan plastik biodegradable menggantikan plastik
konvensional.
Penggunaan skala besar plastik berbahan biodegradable ini
akan membantu mengurangi penggunaan minyak bumi, gas alam dan sumber mineral
lain serta turut berkontribusi menyelamatkan lingkungan.
1.2
Rumusan
masalah
Ø Apakah plastik biodegredabel itu ?
Ø Apakah jenis biopolimer plastik
biodegredable ?
Ø Bagaimana pembuatan plastik biodegredable
?
Ø Bagaimana karakteristik plastik
biodegredable ?
Ø Bagaimana pengujian plastik biodegredable
?
Ø Bagaimana pengembangan ke depan ?
1.3 Tujuan
Dengan dibuatnya makalah ini diharap mahasiswa
mampu memahami dan mengaplikasikan konsep hasil pembelajaran dengan benar, dan
berguna bagi diri sendiri pada khususnya dan masyarakat pada umumnya.
BAB 2. PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Plastik
Biodegredable
Plastik biodegredable adalah salah satu jenis
plastik yang dapat diuraikan kembali oleh lingkungan. Polimer biodegradable
adalah molekul-molekul besar (macromolecules) yang dapat dihancurkan atau
diuraikan oleh mikroorganisme, khususnya bakteri dan jamur.
Alam sebagai penghasil polimer terbesar
memberikan petunjuk bagaimana mensintesis biopolimer. Alam menunjukkan bahwa
ikatan-ikatan asetal pada kanji (starch) dan selulosa, ikatan amida pada
peptida dan protein, serta ikatan ester pada poli (hidroksi fatty acids) sangat
mudah untuk diuraikan, sedangkan ikatan karbon-karbon pada lignin dan karet
alam sulit untuk diuraikan.
Selain menunjukkan tipe ikatan yang mudah
diuraikan, alam juga menunjukkan parameter-parameter apa saja yang harus
dicapai. Dekstrin diuraikan dengan lebih mudah dan lebih cepat dibandingkan
dengan kanji berbobot molekul tinggi dan non kristalin, kanji yang hidrofilik
diuraikan lebih mudah dibandingkan dengan kanji yang kristalin dan kurang
hidrofilik.
Usaha-usaha untuk mendaur ulang dengan
menggunakannya sebagai material untuk produk baru menghasilkan produk dengan
kualitas yang rendah. Teknik pencampuran secara fisik dengan mencampurkan
polimer-polimer sintetik (polistirena, polietilena, dan lainnya) dengan polimer
alam (kanji, tepung tapioka, singkong, dan lainnya) selain menghasilkan
poliblend yang terbiodegradasi secara parsial (bagian polimer alam) juga
menghasilkan material yang sering kali tidak layak untuk digunakan sebagai
material teknik. Sehingga diperlukan usaha-usaha lain untuk membuat polimer
biodegradable.
2.2 Jenis Biopolimer
Ada lima kelompok biopolimer yang menjadi
bahan dasar dalam pembuatan film kemasan biodegradable, yaitu :
a. Campuran biopolimer dengan polimer
sintetis
Film jenis ini dibuat dari
campuran granula pati (5 – 20 %) dan polimer sintetis serta bahan
tambahan (prooksidan dan autooksidan). Bahan ini memiliki nilai
biodegradabilitas yang rendah dan biofragmentasi sangat terbatas.
b. Polimer mikrobiologi (polyester)
Biopolimer ini
dihasilkan secara bioteknologis atau fermentasi dengan mikroba genus Alcaligenes . Biopolimer
jenis ini diantaranya polihidroksi butirat (PHB), polihidroksi valerat (PHV),
asam polilaktat (polylactic acid) dan asam poliglikolat (polyglycolic
acid). Bahan ini dapat terdegradasi secara penuh oleh bakteri, jamur dan
alga. Namun oleh karena proses produksi bahan dasarnya yang rumit
mengakibatkan harga kemasan biodegradable ini relatif mahal.
c. Polimer pertanian
Biopolimer ini tidak dicampur
dengan bahan sintetis dan diperoleh secara murni dari hasil pertanian. Polimer
pertanian ini diantaranya cellulose (bagian dari dinding sel tanaman),
cellophan, celluloseacetat, chitin (pada kulit Crustaceae), pullulan (hasil fermentasi pati oleh Pullularia pullulans ). Polimer
hasil pertanian mempunyai sifat termoplastik, sehingga mempunyai potensi untuk
dibentuk atau dicetak menjadi film kemasan. Keunggulan polimer jenis ini
adalah tersedia sepanjang tahun (renewable) dan mudah hancur secara alami
(biodegradable). Beberapa polimer pertanian yang potensial untuk dikembangkan
adalah pati gandum, pati jagung, kentang, casein, zein, konsentrat whey
dan soy protein.
d. Polimer struktural
Biodegradable juga berarti proses pengomposan
(composting). Polimer-polimer yang mampu dikomposkan (compostable) harus
memenuhi beberapa kriteria, yaitu mengandung salah satu dari jenis ikatan
asetal, amida, atau ester, memiliki berat molekul dan kristalinitas rendah,
serta memiliki hidrofilitas yang tinggi.
Persyaratan ini sering kali bertentangan
dengan permintaan masyarakat, kebutuhan pasar, dan spesifikasi teknik. Sehingga
jalan kompromi pengaruh berat molekul, kristalinitas dan hidrofilitas terhadap
biodegradabilitas dan sifat mekanik harus ditempuh.
Pengomposan yang sempurna sampai ke tahap
mineralisasi akan menghasilkan karbon dioksida dan air. Hal ini kurang disukai
karena tidak memperbaiki kesetimbangan CO di udara, energi yang terkandung di
dalam material yang dikomposkan tidak dapat di recovery serta tidak
memungkinkan material diubah menjadi material-material dasar yang dapat
digunakan kembali (reusable). Hanya pengomposan terkontrol yang akan
menghasilkan kompos yang dapat digunakan untuk kebutuhan pertanian dan
kehutanan.
Polimer biodegradable dapat diperoleh
dengan tiga cara, yaitu biosintesis seperti pada kanji dan selulosa, proses
bioteknologi seperti pada poli (hidroksi fatty acids), dan dengan proses
sintesis kimia seperti pada pembuatan poliamida, poliester, dan poli (vinil alkohol). Kanji dan selulosa
diperoleh langsung dari sintesis alam, dengan jalan ini dapat diperoleh
biopolimer dalam kuantitas yang besar dan murah, tetapi memiliki kelemahan
dalam hal penyerapan air yang tinggi dan tidak dapat dilelehkan tanpa bantuan
aditif.
Poli (hidroksi fatty acid) dihasilkan oleh
mikroorganisme dengan proses bioteknologi. Material ini sekarang sudah tersedia
di pasar dengan harga yang tinggi karena proses isolasi dan pemurniannya yang
rumit. Patut diperhatikan bahwa polimer ini disintesis dari glukosa, glukosa
diperoleh dari proses penguraian secara fermentasi (fermentative breakdown)
dari biopolimer kanji. Sintesis kimia memberikan lebih banyak kemungkinan untuk
memproduksi polimer biodegradable.
Poliester dengan berat molekul dan
kristalinitas tinggi serta memiliki sifat hidrofilitas yang rendah diketahui
sebagai salah satu material teknik yang penting, tetapi sifat-sifat tersebut
mempunyai pengaruh negatif terhadap kemudahan polimer tersebut untuk
dibiodegradasi (biodegradability). Alifatik poliester dapat dianggap sebagai
langkah pertama untuk mengompromikan sifat – sifat di atas.
e. Polimer fungsional
Salah satu polimer fungsional yang
penggunaannya sangat besar adalah poli (karboksilat), misalnya, digunakan di
dalam detergen dan larutan pembersih (cleaner). Polimer ini berfungsi untuk
mencegah penumpukan calcareous (endapan putih dari kalsium) pada saat pemanasan
cucian. Sebelum tahun 1980 dunia industri menggunakan fosfat dalam jumlah yang
besar untuk mencegah calcereous.
Pada tahun 1980 ditemukan kombinasi yang
sangat efektif antara poli (karboksilat), kopolimer dari asam akrilat dan asam
maleat, dan zeolit sebagai pengganti fosfat di dalam detergen poli
(karboksilat) jenis ini tidak dapat didegradasi oleh mikroorganisme, sehingga
kalsium-poli (karboksilat) tetap terlarut di dalam larutan pencuci. Hal ini
tentu sangat berbahaya karena dapat memengaruhi kesehatan masyarakat dan unsur
hara di dalam tanah.
Usaha-usaha telah dilakukan untuk
mendapatkan poli (karboksilat) yang secara sempurna dapat diuraikan menjadi
karbon dioksida dan air. Penambahan elemen-elemen struktural ke dalam kopolimer
asam akrilat dan asam maleat menghasilkan polimer yang terbiodegradasi
sebagian. Jadi, terpolimer asam akrilat, asam maleat, dan vinil asetate, bahkan
dengan jumlah poli (vinil alkohol) yang banyak belum dapat menghasilkan polimer
yang terbiodegradasi secara sempurna.
Usaha lain dengan membuat percabangan
(grafting) kanji pada rantai utama hanya menghasilkan biodegradasi parsial pada
bagian kanji, sedangkan bagian yang lain masih tidak dapat diuraikan. Walaupun
pengurangan berat molekul mempunyai pengaruh positif terhadap biodegradability
tetapi masih belum menghasilkan polimer yang terbiodegradasi sempurna.
Perlu dicari cara lain untuk mendapatkan struktur polimer baru yang memiliki fungsi yang sama dengan
poli (karboksilat) tetapi dapat diuraikan dengan sempurna oleh mikroorganisme.
Sekali lagi, alam memberikan jawaban terhadap masalah ini. Binatang remis
(mussel) menggunakan protein untuk mengubah kalsium terlarut menjadi senyawa
kristalin. Senyawa ini digunakan untuk membentuk kulit atau tempurungnya.
Lapisan tengah dari tempurung ini mengandung prisma kalsium karbonat sedangkan
bagian dalamnya mengandung lembaran-lembaran kalsium karbonat yang sangat
halus. Prisma dan lembaran kalsium karbonat menyebabkan efek warna-warni pada
tempurungnya.
Protein yang terlibat dalam proses
kristalisasi ini mempunyai kandungan asam aspartat yang tinggi. Jadi, fungsi
poli (asam aspartat) dalam sistem biologis adalah untuk mengontrol transpor
dari garam-garam anorganik yang sedikit larut dalam air dengan cara pengikatan
ion secara selektif. Hal ini sesuai dengan fungsi poli (karboksilat) di dalam
detergen. Pembuatan poli (asam aspartat) dilakukan melalui sistesis poli
(aspartiimides) yang dihidrolisa dengan natrium
hidroksida untuk menghasilkan garam natrium dari poli (asam aspartat) yang
terlarut. Polimer ini menunjukkan fungsi yang sama dengan poli (karboksilat) di
dalam aplikasi detergen dan terbiodegradasi secara sempurna oleh
mikroorganisme.
2.3 Pembuatan
Plastik Biodegredable
A. Prinsip Pembentukan Film
Kemampuan
suatu bahan dasar dalam pembentukan film dapat diterangkan melalui fenomena
fase transisi gelas. Pada fase tertentu diantara fase cair dengan padat,
massa dapat dicetak atau dibentuk menjadi suatu bentuk tertentu pada suhu dan
kondisi lingkungan yang tertentu. Fase transisi gelas biasanya
terjadi pada bahan berupa polimer. Sedangkan suhu dimana fase transisi
gelas terjadi disebut sebagai titik fase gelas (glassy point). Pada suhu
tersebut bahan padat dapat dicetak menjadi suatu bentuk yang dikehendaki,
misalnya bentuk lembaran tipis (film) kemasan.
Madeka dan
Kokini (1996), meneliti suhu transisi pada keadaan antara glassy ke
rubbery dari zein murni dengan kadar air 15 – 35 %. Hasil
penelitian menunjukkan terjadinya jalinan reaksi transisi pada suhu
antara 65 – 160o C untuk tepung zein dengan kadar air di atas 25
%. Dibawah suhu 65o C zein terlihat seperti cairan polimer
yang kusut (engtangled fluid polymer), sedang di atas suhu 160o C
ikatan silang agregat zein menjadi lemah. Kaitan dengan gejala ini,
polimer zein dari jagung yang dilarutkan dalam pelarut organik dapa dicetak
menjadi film kemasan plastik.
Secara
kimia kemampuan membentuk film dijelaskan oleh Argos, et al., (1982), sebagai akibat terjadinya interaksi glutamin
pada batang-batang (planes) molekul zein yang bertumpuk. Selanjutnya
Gennadios, et. al., (1994),
bahwa film terbentuk melalui ikatan hidrofobik, hidrogen dan sedikit ikatan
disulfid diantara cabang-cabang molekul zein.
B. Metode Pembuatan Film
Metode
pembuatan kemasan plastik biodegradable telah berkembang sangat pesat. Beberapa
metode yang dapat diterapkan diantaranya yang dikembangkan oleh Yamada. (1995), Frinault. (1997), Isobe (1999). Namun
demikian, pemilihan metode/teknologi produksi didasarkan pada evaluasi terhadap
karaktersitik fisik dan mekanik film yang dihasilkan.. Selain
karakteristik tersebut, juga didasarkan pada nilai biodegradabilitas film pada
berbagai kondisi.
>
Metode pembuatan film yang dikembangkan oleh Isobe (1999), yaitu bahan dasar
(zein) dilarutkan dalam aceton dengan air 30 % (v/v) atau etanol dengan air 20
% (v/v). Kemudian ditambahkan bahan pemlastik (lipida atau gliserin),
dipanaskan pada 50o C selama 10 menit. Selanjutnya dilakukan
pencetakan pada casting dengan menuangkan 10 ml campuran ke permukaan plat
polyethylene yang licin. Dibiarkan selama 5 jam pada suhu 30 sampai 45o
C dengan RH ruangan terkendali. Film yang terbentuk dilepas dari
permukaan cetakan (casting), dikeringkan dan disimpan pada suhu ruang selama 24
jam.
>
Metode lain yang dikembangkan oleh Frinault, et al., (1997) dengan bahan dasar (casein) menggunakan pencetak
ekstruder dengan tahap proses terdiri dari : pencampuran bahan dasar dengan
aceton/etanol- air, penambahan plasticiser, pencetakan dengan ekstruder
kemudian pengeringan film.
>
Metode yang dikembangkan Yamada, et.
al., (1995), bahan dasar (zein) dilarutkan dalam etanol 80 %.
Ditambahkan pemlastis, dipanaskan pada suhu 60 sampai 70o C selama
15 menit. Campuran kemudian dicetak pada auto-casting machine.
Selanjutnya dibiarkan selama 3 – 6 jam pada suhu 35o C dengan RH
ruangan 50 %. Film kemudian dikeringkan selama 12 – 18 jam pada suhu 30o
C pada RH 50 %. Dilanjutkan dengan conditioning dalam ruang selama 24 jam
pada suhu dan RH ambien.
2.4 Karakteristik Plastik Biodegredable
Keberhasilan suatu
proses pembuatan film kemasan plastik biodegradable dapat dilihat dari
karakteristik film yang dihasilkan. Karakteristik film yang dapat diuji
adalah karakteristik mekanik, permeabilitas dan nilai biodegradabilitasnya.
Adapun pengertian masing-masing karakteristik tersebut adalah :
1.Karakteristik
mekanik
Karakteristik
mekanik suatu film kemasan terdiri dari : kuat tarik (tensile strength), kuat
tusuk (puncture strength), persen pemanjangan (elongation to break) dan
elastisitas (elastic/young modulus). Parameter-parameter tersebut dapat
menjelaskan bagaimana karakteristik mekanik dari bahan film yang berkaitan
dengan struktur kimianya. Selain itu, juga menunjukkan indikasi integrasi
film pada kondisi tekanan (stress) yang terjadi selama proses pembentukan
film. Kuat tarik adalah gaya tarik maksimum yang dapat ditahan oleh film
selama pengukuran berlansung. Kuat tarik dipengaruhi oleh bahan pemlastis
yang ditambahkan dalam proses pembuatan film.. Sedangkan kuat tusuk
menggambarkan tusukan maksimum yang dapat ditahan oleh film. Film dengan
struktur yang kaku akan menghasilkan nilai kuat tusuk yang tinggi atau
tahan terhadap tusukan. Adapun persen pemanjangan merupakan perubahan
panjang maksimum film sebelum terputus. Berlawanan dengan itu, adalah
elastisitas akan semakin menurun jika seiring dengan meningkatnya jumlah bahan
pemlastis dalam film.. Elastisitas merupakan ukuran dari kekuatan
film yang dihasilkan.
2.
Permeabilitas
Permeabilitas
suatu film kemasan adalah kemampuan melewatkan partikel gas dan uap air pada
suatu unit luasan bahan pada suatu kondisi tertentu.. Nilai permeabilitas
sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor sifat kimia polimer,, struktur dasar
polimer, sifat komponen permeant. Umumnya nilai permeabilitas film kemasan
berguna untuk memperkirakan daya simpan produk yang dikemas. Komponen
kimia alamiah berperan penting dalam permeabilitas. Polimer dengan
polaritas tinggi (polisakarida dan protein) umumnya menghasilkan nilai
permeabilitas uap air yang tinggi dan permeabilitas terhadap oksigen rendah.
Hal ini disebabkan polimer mempunyai ikatan hidrogen yang besar. Sebaliknya,
polimer kimia yang bersifat non polar (lipida) yang banyak mengandung gugus
hidroksil mempunyai nilai permeabilitas uap air rendah dan permeabilitas
oksigen yang tinggi, sehingga menjadi penahan air yang baik tetapi tidak
efektif menahan gas. Permeabilitas uap air merupakan suatu ukuan
kerentanan suatu bahan untuk terjadinya proses penetrasi air.
Permeabilitas uap air dari suatu film kemasan adalah laju kecepatan atau
transmisi uap air melalui suatu unit luasan bahan yang permukaannya rata dengan
ketebalan tertentu, sebagai akibat dari suatu perbedaan unit tekanan uap antara
dua permukaan pada kondisi suhu dan kelembaban tertentu. Sedangkan
permeabilitas film kemasan terhadap gas-gas, penting diketahui terutama gas
oksigen karena berhubungan dengan sifat bahan dikemas yang masih
melakukan respirasi.
3.
Biodegradabilitas
Alasan
utama membuat kemasan plastik berbahan dasar bioplimer adalah sifat alamiahnya
yang dapat hancur atau terdegradasi dengan mudah.. Umumnya setelah sampah
kemasan dibuang ke tanah (landfill), akan mengalami proses penghancuran alami
baik melalui proses fotodegradasi (cahaya matahari, katalisa), degradasi
kimiawi (air, oksigen), biodegradasi (bakteri, jamur, alga, enzim) atau
degradasi mekanik (angin, abrasi). Proses-proses tersebut dapat
berlansung secara tunggal maupun kombinasi. Beberapa faktor yang
mempengaruhi tingkat biodegradabilitas kemasan setelah kontak dengan
mikroorganisme, yakni : sifat hidrofobik, bahan aditif, proses produksi,
struktur polimer, morfologi dan berat molekul bahan kemasan (Griffin,
1994). Proses terjadinya biodegradasi film kemasan pada lingkungan alam
dimulai dengan tahap degradasi kimia yaitu dengan proses oksidasi molekul, menghasilkan
polimer dengan berat molekul yang rendah. Proses berikutnya (secondary
process) adalah serangan mikroorganisme (bakteri, jamur dan alga) dan
aktivitas enzim (intracellular, extracellular). Contoh mikroorganisme
diantaranya bakteri phototrop (Rhodospirillium, Rhodopseudomonas, Chromatium,
Thiocystis), pembentuk endospora (Bacillus,
Clostridium), gram negatif aerob (Pseudomonas,
Zoogloa, Azotobacter, Rhizobium),
Actynomycetes, Alcaligenes (Griffin,
1994). Umumnya kecepatan
degradasi pada lingkungan limbah cair anaerob lebih besar dari pada limbah cair
aerob, kemudian dalam tanah dan air laut.
2.5 Metode
Uji Biodegradabilitas
Faktor-faktor yang harus
diperhatikan dalam uji biodegradasi adalah :
a. jenis sampel (blow film, pulverize),
b. sifat (crystallinity),
c. jenis mikroorganisme
(jamur, bakteri),
d.kondisi lingkungan (
inokulasi, kelembaban, temperatur, nutrisi, pertumbuhan mikroorganisme,
penurunan berat sel) dan
e. sifat hydrofobik.
Adapun cara
penentuan degradasi yaitu mengukur perubahan sifat mekanis, jumlah gas CO2
yang dikeluarkan dan produk-produk yang dihasilkan. Berbagai metode pengujian
biodegradasi yang diadopsi oleh Organisation for Economic Cooperation and
Development (OECD) telah digunakan secara khusus untuk menganalisis, mendeteksi
dan mengukur konsumsi oksigen dan atau karbondioksida yang dikeluarkan dari
metabolisme substrat. Ada lima uji saat ini yang dapat digunakan,
yakni : modified AFNOR test (untuk dissolved organic carbon/DOC), modified
Sturn test (produksi CO2), modified MITI test (konsumsi O2
dan penguraian substrat), Closed bottle test (konsumsi O2 ) dan
modified OECD screening test (dissolved organic carbon/DOC) (Griffin,
1994). Metode lain yang dikembangkan untuk menguji daya tahan plastik
terhadap degradasii mikroorganisme, yakni : Petri dish screen (digunakan di
USA/ASTM, Jerman/DIN, Prancis/AFNOR, Swiss/SN dan Standar Internasional/ISO
(846), Environmental chamber method (pada kelembaban tinggi - 90 %), Soil
burial tests (berdasarkan kontak dengan tanah).
Di Amerika Serikat, ASTM International adalah badan otoritatif
untuk menentukan standar biodegradable. Subkomite khusus bertanggung jawab
untuk mengawasi standar ini dan harus bertanggung jawab pada pada D20.96 Komite
Lingkungan dan produk Plastik. Standar ASTM saat ini didefinisikan sebagai
spesifikasi standar dan metode uji standar. Standar spesifikasi membuat keputusan
lulus atau gagalnya produk dan sedangkan metode uji standar mengidentifikasi
parameter pengujian khusus untuk memfasilitasi tes spesifik pada plastik
biodegradable.
Saat ini, ada tiga seperti spesifikasi
standar ASTM alamat yang kebanyakan plastik biodegradable jenis kompos
lingkungan, yang jenisnya ASTM D6400-04 Standard Spesifikasi untuk Compostable
Plastik, ASTM D6868 - 03 Standard Specification untuk Plastik Biodegradable digunakan
sebagai pelapis pada kertas dan Compostable substrat lainnya dan ASTM D7081 -
05 Standard Spesifikasi untuk Non-Biodegradable Plastik apung di lingkungan
Marinir.
Saat ini yang paling akurat metode uji
standar lingkungan anaerobik adalah ASTM D5511 - 02 Standard Test Method untuk
Menentukan biodegradasi anaerobik dari Bahan Plastik High-Solids Under. Metode uji standar lainnya untuk menguji dalam
lingkungan anaerobik adalah ASTM D5526 - 94 (2002) Standar untuk Menentukan
Metode Uji biodegradasi anaerobik dari Bahan Plastik Dipercepat Dalam Kondisi
TPA. Tes ini telah terbukti sangat sulit untuk dilakukan.
2.6 Pengembangan ke Depan
Selama
berabad-abad, plastik konvensional dituding sebagai biang pencemaran lingkungan
karena tidak membusuk di dalam tanah. Namun, saat ini sudah dikembangkan
plastik biodegradable yang ramah lingkungan karena mudah melebur di tanah.
Plastik yang
dimaksud dibuat dari material yang disebut polyhydroxybutyrate atau disingkat
PHB. Material tersebut berasal dari senyawa organik yang diproduksi bakteri,
tidak seperti plastik biasa yang dibuat dari minyak bumi. PHB sudah banyak
digunakan pada berbagai produk kemasan seperti botol minuman ringan hingga
peralatan medis. Meskipun telah dikomersilkan sejak tahun 1980-an,
penggunaannya masih terbatas karena sifatnya yang rapuh dan tidak dapat
ditentukan masa urainya.
Sebagai gantinya,
para ilmuwan di Unversitas Cornell, New York, AS telah merekayasa agar plastik
PHB lebih kuat dan cepat terurai. Kuncinya berada pada partikel lempung
berdiameter beberapa nanometer (sepermiliar meter).Partikel-partikel berukuran
sangat kecil ini ditambahkan pada senyawa tersebut agar membantu proses
kristalisasi yang memperkuat plastik. Di sisi lain, partikel-partikel tersebut
juga bekerja sebagai katalis yang membantu degradasi saat di dalam tanah.
Plastik hibrida
ini terbukti dapat terurai di ruang pengomposan dalam waktu tujuh minggu.
Bahkan, kemampuan degradasinya dapat dikendalikan dengan mengatur komposisi
partikel- partikel nano.
Upaya pengembangan
teknologi kemasan plastik biodegrdable dewasa ini berkembang sangat pesat. Berbagai riset
telah dilakukan di negara maju (Jerman, Prancis, Jepang, Korea, Amerika
Serikat, Inggris dan Swiss) ditujukan untuk menggali berbagai potensi bahan
baku biopolimer. Di Jerman pengembangan untuk mendapatkan polimer
biodegradable pada polyhydroxybutiyrat (PHB), Jepang (chitin dari kulit
Crustaceae, zein dari jagung, pullulan) . Aktivitas penelitian lain
yang dilakukan adalah bagaimana mendapatkan kemasan thermoplastic degradable
yang mempunyai masa pakai (lifetimes) yang relatif lebih lama dengan harga yang
lebih murah. Pengembangan lain yang sangat penting adalah perbaikan sifat-sifat
fisik dan penggunaan bahan pemlastis.
Penggunaan kemasan
plastik biodegradable misalnya sebagai botol sampo, dari bahan PHBV
(produksi Wella AG dan ICI) dengan harga Rp. 75.000/kg (tahun1995), bahan
celluloseacetat untuk barang-barang cetakan, harga Rp. 25.000/kg, campuran
chitosan dengan cellulosa (di Jepang) sebagai pelindung terhadap oksigen,
harga Rp.15.000/kg dan pullulan (di Jepang) sebagai kemasan pangan beku
(mentega, keju) dengan harga Rp.60.000 sampai Rp.70.000,-. Kemasan plastik biodegradable
ini penggunaannya masih terbatas pada produk farmasi, kosmetik dan container.
Kendala utama yang
dihadapi dalam pemasaran kemasan ini adalah harganya yang relatif tinggi
dibandingkan film kemasan PE. Sebagai perbandingan untuk PHBV
sekitar US$ 8 – 10/lb, sedangkan untuk film PE hanya US$ 0.30 – 0.45/lb.
Biaya produksi yang tinggi berasal dari komponen bahan baku (sumber karbon),
proses fermentasi (isolasi dan purifikasi polimer) dan investasi modal.
Upaya untuk menekan harga tersebut adalah menggunakan substrat dari
methanol, molasses dan hemicellulose hydrolysate (Griffin, 1994).
Di Indonesia
penelitian dan pengembangan teknologi kemasan plastik biodegradable masih
sangat terbatas. Hal ini terjadi karena selain kemampuan sumber daya manusia
dalam penguasaan ilmu dan teknologi bahan, juga dukungan dana penelitian
yang terbatas. Dipahami bahwa penelitian dalam bidang ilmu dasar
memerlukan waktu lama dan dana yang besar. Sebenarnya prospek
pengembangan biopolimer untuk kemasan plastik biodegradable di Indonesia sangat
potensial. Alasan ini didukung oleh adanya sumber daya alam,
khususnya hasil pertanian yang melimpah dan dapat diperoleh sepanjang tahun.
Berbagai hasil pertanian yang potensial untuk dikembangkan menjadi biopolimer
adalah jagung, sagu, kacang kedele, kentang, tepung tapioka, ubi kayu (nabati)
dan chitin dari kulit udang (hewani) dan lain sebagainya.
Kekayaan akan
sumber bahan dasar seperti tersebut di atas, justru sebaliknya menjadi
persoalan potensial yang serius pada negara-negara yang telah maju dan
menguasai ilmu dan teknologi kemasan biodegrdable, khususnya di Jerman. Negara
tersebut dengan penguasaan IPTEK yang tinggi bidang teknologi kemasan, merasa
khawatir kekurangan sumber bahan dasar (raw materials) dan akan menjadi sangat
tergantung pada negara yang kaya akan sumber daya alam.
Berbagai peneliti telah melakukan
penilaian siklus hidup yang luas dari polimer biodegradable untuk menentukan
apakah material ini energi lebih efisien daripada polimer yang dibuat oleh
konvensional bahan bakar berbasis fosil berarti. Penelitian yang dilakukan oleh
Gerngross,memperkirakan
bahwa bahan bakar fosil energi yang dibutuhkan untuk menghasilkan satu kilogram
polyhydroxyalkanoate (PHA) adalah 50,4 MJ / kg, yang bertepatan dengan
perkiraan lain oleh Akiyama,, yang memperkirakan nilai antara 50-59 MJ / kg.
Polylactide (PLA) diperkirakan memiliki energi bahan bakar fosil 54-56,7 biaya
dari dua sumber, namun perkembangan terakhir di produksi komersial TPR oleh
beberapa “Nature Works Inc” telah menghilangkan ketergantungan energi berbasis
bahan bakar fosil dengan menggantikan dengan tenaga angin dan biomas-driven
strategi. Mereka melaporkan kilogram membuat PLA dengan hanya 27,2 MJ bahan
bakar fosil berbasis energi dan mengantisipasi bahwa jumlah ini akan turun
menjadi 16,6 MJ / kg pada tanaman generasi berikutnya. Sebaliknya, polipropilen
dan polietilen densitas tinggi memerlukan 85,9 dan 73,7 MJ / kg masing-masing, tetapi
nilai-nilai ini termasuk energi tertanam bahan baku karena didasarkan pada bahan
bakar fosil.
Gerngross melaporkan total 2,65 setara
energi bahan bakar fosil (FFE) yang diperlukan untuk menghasilkan satu kilogram
PHA, sementara polypropylene hanya membutuhkan 2,2 kg FFE. Gerngross menilai
bahwa keputusan untuk melangkah maju dengan polimer biodegradable alternatif
perlu mempertimbangkan prioritas masyarakat yang berkaitan dengan energi,
lingkungan, dan biaya ekonomi. Selain itu, penting untuk menyadari pembuatan
teknologi alternatif.
Teknologi untuk menghasilkan PHA,
misalnya, masih dalam pengembangan sekarang, dan konsumsi energi dapat lebih
dikurangi dengan menghilangkan langkah fermentasi, atau dengan memanfaatkan
limbah sebagai bahan baku makanan. Penggunaan alternatif selain tanaman jagung,
seperti gula tebu dari Brazil, diharapkan kebutuhan energi lebih rendah,
pembuatan PHA oleh fermentasi di Brazil mendapt konsumsi energi yang
menguntungkan karena skemanya dimana bagasse digunakan sebagai sumber energi terbarukan.
Banyak polimer biodegradable polimer yang
berasal dari sumber daya terbarukan (misalnya, pati-based, PHA, PLA) yang juga
bersaing dengan produksi pangan, sebagai bahan baku utama saat ini adalah jagung.
Bagi AS untuk memenuhi output saat ini produksi plastik dengan BPS, maka
diperlukan 1,62 meter persegi per kilogram diproduksi. Sementara kebutuhan
ruang ini bisa layak, dan itu selalu penting untuk mempertimbangkan berapa
banyak dampak produksi skala besar ini karena bisa saja harga makanan dan biaya kesempatan menggunakan tanah di versus dengan
mode alternatif ini.
BAB 3. PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Plastik biodegredable adalah
salah satu jenis plastik yang dapat diuraikan kembali oleh lingkungan. Polimer
biodegradable adalah molekul-molekul besar (macromolecules) yang dapat
dihancurkan atau diuraikan oleh mikroorganisme, khususnya bakteri dan jamur.
Alam sebagai penghasil polimer terbesar
memberikan petunjuk bagaimana mensintesis biopolimer. Alam menunjukkan bahwa
ikatan-ikatan asetal pada kanji (starch) dan selulosa, ikatan amida pada
peptida dan protein, serta ikatan ester pada poli (hidroksi fatty acids) sangat
mudah untuk diuraikan, sedangkan ikatan karbon-karbon pada lignin dan karet
alam sulit untuk diuraikan.
Keberhasilan suatu proses pembuatan film
kemasan plastik biodegradable dapat dilihat dari karakteristik film yang
dihasilkan. Karakteristik film yang dapat diuji adalah karakteristik mekanik,
permeabilitas dan nilai biodegradabilitasnya. Alasan utama membuat
kemasan plastik berbahan dasar bioplimer adalah sifat alamiahnya yang dapat
hancur atau terdegradasi dengan mudah.. Umumnya setelah sampah kemasan
dibuang ke tanah (landfill), akan mengalami proses penghancuran alami baik
melalui proses fotodegradasi (cahaya matahari, katalisa), degradasi kimiawi
(air, oksigen), biodegradasi (bakteri, jamur, alga, enzim) atau degradasi
mekanik (angin, abrasi).
Plastik yang dimaksud dibuat dari material
yang disebut polyhydroxybutyrate atau disingkat PHB. Material tersebut berasal dari senyawa organik
yang diproduksi bakteri, tidak seperti plastik biasa yang dibuat dari minyak
bumi. PHB sudah banyak digunakan pada berbagai produk kemasan seperti botol
minuman ringan hingga peralatan medis.
Di Indonesia penelitian dan pengembangan
teknologi kemasan plastik biodegradable masih sangat terbatas. Hal ini terjadi
karena selain kemampuan sumber daya manusia dalam penguasaan ilmu dan
teknologi bahan, juga dukungan dana penelitian yang terbatas. Dipahami
bahwa penelitian dalam bidang ilmu dasar memerlukan waktu lama dan dana yang
besar. Sebenarnya prospek pengembangan biopolimer untuk kemasan plastik
biodegradable di Indonesia sangat potensial. Alasan ini didukung
oleh adanya sumber daya alam, khususnya hasil pertanian yang melimpah dan
dapat diperoleh sepanjang tahun. Berbagai hasil pertanian yang potensial untuk
dikembangkan menjadi biopolimer adalah jagung, sagu, kacang kedele, kentang, tepung
tapioka, ubi kayu (nabati) dan chitin dari kulit udang (hewani) dan lain
sebagainya.
3.2 Saran
Makalah ini masih jauh dari unsur
kesempurnaan, maka dari itu mohon kritik dan saran dari berbagai pihak.
Kurangnya jumlah referensi dan lainnya menyebabkan kurang detailnya makalah
tentang plastik biodegredable. Plastik yang sekarang pada umumnya adalah
plastik konvensional yang sulit terdegradasi oleh lingkungan diharapkan cepat
diganti dengan plastik yang ramah lingkungan seperti plastik biodegredable.
Apalagi sekarang polusi di bumi telah meningkat dan menyebabkan global warming.
Tak ada gading yang tak retak, semua pasti ada kesalahan. Semoga proses
pembelajaran ini dapat menjadi acuan untuk menuju yang lebih baik lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Argos, P., Pederson, K.,
Marks, M.D., and Larkins, B.A. 1982. A
structural model for maize zein proteins. J. Biol. Chem. 257 (17):
9984-9990.
Frinault, A., D.J. Gallant, B.
Bouchet and J.P. Dumont. 1997. Preparation
of casein film by a modified wet spinning process. J. of Food Science 62
(4): 744-747
Gennadios, A., McHugh, T.H.,
Weller, C.L., and Krochta,. J.M. 1994. Edible coating and film based on protein. In Edible coating and film to
improve food quality; Krochta, J.M., Baldwin, E.A., Nisperros-Carriedo, N.,
Eds.; Technomic Pub.: Lancaster, PA; pp 201-278.
Isobe, S. 1999. Properties of plasticized-zein film
as affected by plasticier treatments. In Formula dan rekayasa proses pembuatan
biodegradable film dari zein jagung; Paramawati, R.: PPS – IPB, Bogor.
Madeka, H., and Kokini, J.L.
1996. Effect od glass transition
and cross-lingking on rheological properties of zein: Development of
preliminary state diagram. Cereal Chem. (73): 433-438.
Seal, K.J. 1994. Test methods and standards for biodegradable
plastic. In: . Chemistry and technology of biodegradable polymer: Griffin,
G.J.L. Blackie Academic and Proffesional, Chapman and Hall.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar