Kamis, 19 Januari 2012

Plastik Biodegredable


BAB 1. PENDAHULUAN



1.1             Latar Belakang
Hampir setiap hari kita membutuhkan plastik untuk berbagai hal, yakni sebagai pembungkus makanan, alas makan dan minum, untuk keperluan sekolah, kantor, dan sebagainya. Hal ini dikarenakan plastik memiliki sifat unggul seperti ringan tetapi kuat, transparan, tahan air serta harganya relatif murah dan terjangkau oleh semua kalangan masyarakat.
Namun, plastik yang beredar di pasaran saat ini merupakan polimer sintetik yang terbuat dari minyak bumi yang sulit untuk terurai di alam. Akibatnya semakin banyak yang menggunakan plastik, akan semakin meningkat pula pencemaran lingkungan seperti penurunan kualitas air dan tanah menjadi tidak subur.
Untuk menyelamatkan lingkungan dari bahaya plastik, saat ini telah dikembangkan plastik biodegradable, artinya plastik ini dapat duraikan kembali mikroorganisme secara alami menjadi senyawa yang ramah lingkungan. Biasanya plastik konvensional berbahan dasar petroleum, gas alam, atau batu bara. Sementara plastik biodegradable terbuat dari material yang dapat diperbaharui, yaitu dari senyawa-senyawa yang terdapat dalam tanaman misalnya selulosa, kolagen, kasein, protein atau lipid yang terdapat dalam hewan.
Jenis plastik biodegradable antara lain polyhidroksialkanoat (PHA) dan poli-asam amino yang berasal dari sel bakteri, polylaktida (PLA) yang merupakan modifikasi asam laktat hasil perubahan zat tepung kentang atau jagung oleh mikroorganisme, dan poliaspartat sintesis yang dapat terdegradasi. Bahan dasar plastik berasal dari selulosa bakteri, kitin, kitosan, atau tepung yang terkandung dalam tumbuhan, serta beberapa material plastik atau polimer lain yang terdapat di sel tumbuhan dan hewan.
Plastik biodegradable berbahan dasar tepung dapat didegradasi bakteri pseudomonas dan bacillus memutus rantai polimer menjadi monomer-monomernya . Senyawa-senyawa hasil degradasi polimer selain menghasilkan karbon dioksida dan air, juga menghasilkan senyawa organik lain yaitu asam organik dan aldehid yang tidak berbahaya bagi lingkungan.
Plastik berbahan dasar tepung aman bagi lingkungan. Sebagai perbandingan, plastik tradisional membutuhkan waktu sekira 50 tahun agar dapat terdekomposisi alam, sementara plastik biodegradable dapat terdekomposisi 10 hingga 20 kali lebih cepat.
Hasil degradasi plastik ini dapat digunakan sebagai makanan hewan ternak atau sebagai pupuk kompos. Plastik biodegradable yang terbakar tidak menghasilkan senyawa kimia berbahaya. Kualitas tanah akan meningkat dengan adanya plastik biodegradable, karena hasil penguraian mikroorganisme meningkatkan unsur hara dalam tanah.
Sampai saat ini masih diteliti berapa cepat atau berapa banyak polimer biodegradable ini dapat diuraikan alam. Di samping itu, penambahan tepung pada pembuatan polimer biodegradable menambah biaya pembuatan plastik.
Namun ini menjadi potensi yang besar di Indonesia, karena terdapat berbagai tanaman penghasil tepung seperti singkong, beras, kentang, dan tanaman lainnya. Apalagi harga umbi-umbian di Indonesia relatif rendah. Dengan memanfaatkan sebagai bahan plastik biodegradable, akan memberi nilai tambah ekonomi yang tinggi. Penelitian lebih lanjut sangat diperlukan. Bukan tidak mungkin kelak Indonesia menjadi produsen terbesar plastik biodegradable di dunia.
Jerman, India, Australia, Jepang, dan Amerika adalah negara yang paling intensif mengembangkan riset plastik biodegradable dan mempromosikan penggunaannya menggantikan plastik konvensional. Produk industri berbahan dasar plastik mulai menggunakan bahan biodegradable. Fujitsu, perusahaan komputer besar di Jepang telah menggunakan plastik biodegradable ini pada semua casing produknya. Komunitas internasional sepakat, penggunaan bahan polimer sintetis yang ramah lingkungan harus terus ditingkatkan.
Sementara itu, penggunaan di Indonesia masih jauh panggang dari api. Padahal sudah jelas potensi bahan baku pembuatan plastik biodegradable sangat besar di Indonesia. Tampaknya perlu dukungan dari semua pihak terutama pemerintah selaku regulator, industri kimia dan proses, serta kesadaran dari seluruh masyarakat. Harus ada kerja sama diantara banyak pihak untuk mendukung penerapan plastik biodegradable menggantikan plastik konvensional.
Penggunaan skala besar plastik berbahan biodegradable ini akan membantu mengurangi penggunaan minyak bumi, gas alam dan sumber mineral lain serta turut berkontribusi menyelamatkan lingkungan.

1.2             Rumusan masalah
Ø  Apakah plastik biodegredabel itu ?
Ø  Apakah jenis biopolimer plastik biodegredable ?
Ø  Bagaimana pembuatan plastik biodegredable ?
Ø  Bagaimana karakteristik plastik biodegredable ?
Ø  Bagaimana pengujian plastik biodegredable ?
Ø  Bagaimana pengembangan ke depan ?

1.3 Tujuan
Dengan dibuatnya makalah ini diharap mahasiswa mampu memahami dan mengaplikasikan konsep hasil pembelajaran dengan benar, dan berguna bagi diri sendiri pada khususnya dan masyarakat pada umumnya.

  
BAB 2. PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Plastik Biodegredable
Plastik biodegredable adalah salah satu jenis plastik yang dapat diuraikan kembali oleh lingkungan. Polimer biodegradable adalah molekul-molekul besar (macromolecules) yang dapat dihancurkan atau diuraikan oleh mikroorganisme, khususnya bakteri dan jamur.
Alam sebagai penghasil polimer terbesar memberikan petunjuk bagaimana mensintesis biopolimer. Alam menunjukkan bahwa ikatan-ikatan asetal pada kanji (starch) dan selulosa, ikatan amida pada peptida dan protein, serta ikatan ester pada poli (hidroksi fatty acids) sangat mudah untuk diuraikan, sedangkan ikatan karbon-karbon pada lignin dan karet alam sulit untuk diuraikan.
Selain menunjukkan tipe ikatan yang mudah diuraikan, alam juga menunjukkan parameter-parameter apa saja yang harus dicapai. Dekstrin diuraikan dengan lebih mudah dan lebih cepat dibandingkan dengan kanji berbobot molekul tinggi dan non kristalin, kanji yang hidrofilik diuraikan lebih mudah dibandingkan dengan kanji yang kristalin dan kurang hidrofilik.
Usaha-usaha untuk mendaur ulang dengan menggunakannya sebagai material untuk produk baru menghasilkan produk dengan kualitas yang rendah. Teknik pencampuran secara fisik dengan mencampurkan polimer-polimer sintetik (polistirena, polietilena, dan lainnya) dengan polimer alam (kanji, tepung tapioka, singkong, dan lainnya) selain menghasilkan poliblend yang terbiodegradasi secara parsial (bagian polimer alam) juga menghasilkan material yang sering kali tidak layak untuk digunakan sebagai material teknik. Sehingga diperlukan usaha-usaha lain untuk membuat polimer biodegradable.
2.2 Jenis Biopolimer
Ada lima kelompok biopolimer yang menjadi bahan dasar dalam pembuatan film kemasan biodegradable, yaitu :
a. Campuran biopolimer dengan polimer sintetis
Film jenis ini dibuat dari campuran granula pati (5 – 20 %) dan polimer sintetis serta bahan tambahan  (prooksidan dan autooksidan). Bahan ini memiliki nilai biodegradabilitas yang rendah dan biofragmentasi sangat terbatas.

b. Polimer mikrobiologi (polyester)
Biopolimer ini  dihasilkan secara bioteknologis atau fermentasi dengan mikroba genus Alcaligenes .  Biopolimer jenis ini diantaranya polihidroksi butirat (PHB), polihidroksi valerat (PHV), asam polilaktat (polylactic acid) dan asam poliglikolat (polyglycolic acid).  Bahan ini dapat terdegradasi secara penuh oleh bakteri, jamur dan alga.  Namun oleh karena proses produksi bahan dasarnya yang rumit mengakibatkan harga kemasan biodegradable ini relatif mahal.

c. Polimer  pertanian  
Biopolimer ini tidak dicampur dengan bahan sintetis dan diperoleh secara murni dari hasil pertanian. Polimer pertanian ini diantaranya cellulose (bagian dari dinding sel tanaman), cellophan, celluloseacetat, chitin (pada kulit Crustaceae), pullulan (hasil fermentasi pati oleh Pullularia pullulans ).  Polimer hasil pertanian mempunyai sifat termoplastik, sehingga mempunyai potensi untuk dibentuk atau dicetak menjadi film kemasan.  Keunggulan polimer jenis ini adalah tersedia sepanjang tahun (renewable) dan mudah hancur secara alami (biodegradable). Beberapa polimer pertanian yang potensial untuk dikembangkan adalah pati gandum, pati jagung,  kentang, casein, zein, konsentrat whey dan soy protein.
d. Polimer struktural
Biodegradable juga berarti proses pengomposan (composting). Polimer-polimer yang mampu dikomposkan (compostable) harus memenuhi beberapa kriteria, yaitu mengandung salah satu dari jenis ikatan asetal, amida, atau ester, memiliki berat molekul dan kristalinitas rendah, serta memiliki hidrofilitas yang tinggi.
Persyaratan ini sering kali bertentangan dengan permintaan masyarakat, kebutuhan pasar, dan spesifikasi teknik. Sehingga jalan kompromi pengaruh berat molekul, kristalinitas dan hidrofilitas terhadap biodegradabilitas dan sifat mekanik harus ditempuh.
Pengomposan yang sempurna sampai ke tahap mineralisasi akan menghasilkan karbon dioksida dan air. Hal ini kurang disukai karena tidak memperbaiki kesetimbangan CO di udara, energi yang terkandung di dalam material yang dikomposkan tidak dapat di recovery serta tidak memungkinkan material diubah menjadi material-material dasar yang dapat digunakan kembali (reusable). Hanya pengomposan terkontrol yang akan menghasilkan kompos yang dapat digunakan untuk kebutuhan pertanian dan kehutanan.
Polimer biodegradable dapat diperoleh dengan tiga cara, yaitu biosintesis seperti pada kanji dan selulosa, proses bioteknologi seperti pada poli (hidroksi fatty acids), dan dengan proses sintesis kimia seperti pada pembuatan poliamida, poliester, dan poli (vinil alkohol). Kanji dan selulosa diperoleh langsung dari sintesis alam, dengan jalan ini dapat diperoleh biopolimer dalam kuantitas yang besar dan murah, tetapi memiliki kelemahan dalam hal penyerapan air yang tinggi dan tidak dapat dilelehkan tanpa bantuan aditif.
Poli (hidroksi fatty acid) dihasilkan oleh mikroorganisme dengan proses bioteknologi. Material ini sekarang sudah tersedia di pasar dengan harga yang tinggi karena proses isolasi dan pemurniannya yang rumit. Patut diperhatikan bahwa polimer ini disintesis dari glukosa, glukosa diperoleh dari proses penguraian secara fermentasi (fermentative breakdown) dari biopolimer kanji. Sintesis kimia memberikan lebih banyak kemungkinan untuk memproduksi polimer biodegradable.
Poliester dengan berat molekul dan kristalinitas tinggi serta memiliki sifat hidrofilitas yang rendah diketahui sebagai salah satu material teknik yang penting, tetapi sifat-sifat tersebut mempunyai pengaruh negatif terhadap kemudahan polimer tersebut untuk dibiodegradasi (biodegradability). Alifatik poliester dapat dianggap sebagai langkah pertama untuk mengompromikan sifat – sifat di atas.
e. Polimer fungsional
Salah satu polimer fungsional yang penggunaannya sangat besar adalah poli (karboksilat), misalnya, digunakan di dalam detergen dan larutan pembersih (cleaner). Polimer ini berfungsi untuk mencegah penumpukan calcareous (endapan putih dari kalsium) pada saat pemanasan cucian. Sebelum tahun 1980 dunia industri menggunakan fosfat dalam jumlah yang besar untuk mencegah calcereous.
Pada tahun 1980 ditemukan kombinasi yang sangat efektif antara poli (karboksilat), kopolimer dari asam akrilat dan asam maleat, dan zeolit sebagai pengganti fosfat di dalam detergen poli (karboksilat) jenis ini tidak dapat didegradasi oleh mikroorganisme, sehingga kalsium-poli (karboksilat) tetap terlarut di dalam larutan pencuci. Hal ini tentu sangat berbahaya karena dapat memengaruhi kesehatan masyarakat dan unsur hara di dalam tanah.
Usaha-usaha telah dilakukan untuk mendapatkan poli (karboksilat) yang secara sempurna dapat diuraikan menjadi karbon dioksida dan air. Penambahan elemen-elemen struktural ke dalam kopolimer asam akrilat dan asam maleat menghasilkan polimer yang terbiodegradasi sebagian. Jadi, terpolimer asam akrilat, asam maleat, dan vinil asetate, bahkan dengan jumlah poli (vinil alkohol) yang banyak belum dapat menghasilkan polimer yang terbiodegradasi secara sempurna.
Usaha lain dengan membuat percabangan (grafting) kanji pada rantai utama hanya menghasilkan biodegradasi parsial pada bagian kanji, sedangkan bagian yang lain masih tidak dapat diuraikan. Walaupun pengurangan berat molekul mempunyai pengaruh positif terhadap biodegradability tetapi masih belum menghasilkan polimer yang terbiodegradasi sempurna.
Perlu dicari cara lain untuk mendapatkan struktur polimer baru yang memiliki fungsi yang sama dengan poli (karboksilat) tetapi dapat diuraikan dengan sempurna oleh mikroorganisme. Sekali lagi, alam memberikan jawaban terhadap masalah ini. Binatang remis (mussel) menggunakan protein untuk mengubah kalsium terlarut menjadi senyawa kristalin. Senyawa ini digunakan untuk membentuk kulit atau tempurungnya. Lapisan tengah dari tempurung ini mengandung prisma kalsium karbonat sedangkan bagian dalamnya mengandung lembaran-lembaran kalsium karbonat yang sangat halus. Prisma dan lembaran kalsium karbonat menyebabkan efek warna-warni pada tempurungnya.
Protein yang terlibat dalam proses kristalisasi ini mempunyai kandungan asam aspartat yang tinggi. Jadi, fungsi poli (asam aspartat) dalam sistem biologis adalah untuk mengontrol transpor dari garam-garam anorganik yang sedikit larut dalam air dengan cara pengikatan ion secara selektif. Hal ini sesuai dengan fungsi poli (karboksilat) di dalam detergen. Pembuatan poli (asam aspartat) dilakukan melalui sistesis poli (aspartiimides) yang dihidrolisa dengan natrium hidroksida untuk menghasilkan garam natrium dari poli (asam aspartat) yang terlarut. Polimer ini menunjukkan fungsi yang sama dengan poli (karboksilat) di dalam aplikasi detergen dan terbiodegradasi secara sempurna oleh mikroorganisme.

2.3 Pembuatan Plastik Biodegredable
A. Prinsip Pembentukan Film
 Kemampuan suatu bahan dasar dalam pembentukan film dapat diterangkan melalui fenomena fase transisi gelas.  Pada fase tertentu diantara fase cair dengan padat, massa dapat dicetak atau dibentuk menjadi suatu bentuk tertentu pada suhu dan kondisi lingkungan yang tertentu.   Fase transisi gelas biasanya terjadi pada bahan berupa polimer.  Sedangkan suhu dimana fase transisi gelas terjadi disebut sebagai titik fase gelas (glassy point).  Pada suhu tersebut bahan padat dapat dicetak menjadi suatu bentuk yang dikehendaki, misalnya bentuk lembaran tipis (film) kemasan.

Madeka dan Kokini (1996), meneliti suhu transisi pada keadaan antara glassy ke rubbery  dari zein murni dengan kadar air 15 – 35 %.  Hasil penelitian  menunjukkan terjadinya jalinan reaksi transisi pada suhu antara 65 – 160o C untuk tepung zein dengan kadar air di atas 25 %.  Dibawah suhu 65o C zein terlihat seperti cairan polimer yang kusut (engtangled fluid polymer), sedang di atas suhu 160o C ikatan silang agregat zein menjadi lemah.  Kaitan dengan gejala ini, polimer zein dari jagung yang dilarutkan dalam pelarut organik dapa dicetak menjadi film kemasan plastik.

Secara kimia kemampuan membentuk film dijelaskan oleh Argos, et al., (1982), sebagai akibat terjadinya interaksi glutamin pada batang-batang (planes) molekul zein yang bertumpuk.  Selanjutnya Gennadios, et. al., (1994), bahwa film terbentuk melalui ikatan hidrofobik, hidrogen dan sedikit ikatan disulfid diantara cabang-cabang molekul zein.

 B. Metode Pembuatan Film
 Metode pembuatan kemasan plastik biodegradable telah berkembang sangat pesat. Beberapa metode yang dapat diterapkan diantaranya yang dikembangkan oleh Yamada. (1995),  Frinault. (1997), Isobe (1999). Namun demikian, pemilihan metode/teknologi produksi didasarkan pada evaluasi terhadap karaktersitik fisik dan mekanik film yang dihasilkan..   Selain karakteristik tersebut, juga didasarkan pada nilai biodegradabilitas film pada berbagai kondisi.
>      Metode pembuatan film yang dikembangkan oleh Isobe (1999), yaitu bahan dasar (zein) dilarutkan dalam aceton dengan air 30 % (v/v) atau etanol dengan air 20 % (v/v).  Kemudian ditambahkan bahan pemlastik (lipida atau gliserin), dipanaskan pada 50o C selama 10 menit.  Selanjutnya dilakukan pencetakan pada casting dengan menuangkan 10 ml campuran ke permukaan plat polyethylene yang licin.  Dibiarkan selama 5 jam pada suhu 30 sampai 45o C dengan RH ruangan terkendali.  Film yang terbentuk dilepas dari permukaan cetakan (casting), dikeringkan dan disimpan pada suhu ruang selama 24 jam.
>       Metode lain yang dikembangkan oleh Frinault, et al., (1997) dengan bahan dasar (casein) menggunakan pencetak ekstruder dengan tahap proses terdiri dari : pencampuran bahan dasar dengan aceton/etanol- air, penambahan plasticiser, pencetakan dengan ekstruder kemudian pengeringan film.
>       Metode yang dikembangkan Yamada, et. al., (1995), bahan dasar (zein) dilarutkan dalam etanol 80 %. Ditambahkan pemlastis, dipanaskan pada suhu 60 sampai 70o C selama 15 menit. Campuran kemudian dicetak pada auto-casting machine.  Selanjutnya dibiarkan selama 3 – 6 jam pada suhu 35o C dengan RH ruangan 50 %.  Film kemudian dikeringkan selama 12 – 18 jam pada suhu 30o C pada RH 50 %.  Dilanjutkan dengan conditioning dalam ruang selama 24 jam pada suhu dan RH ambien.

2.4 Karakteristik Plastik Biodegredable
Keberhasilan suatu proses pembuatan film kemasan plastik biodegradable dapat dilihat dari karakteristik film yang dihasilkan.  Karakteristik film yang dapat diuji adalah karakteristik mekanik, permeabilitas dan nilai biodegradabilitasnya. Adapun pengertian masing-masing karakteristik tersebut adalah :


1.Karakteristik mekanik
 Karakteristik mekanik suatu film kemasan terdiri dari : kuat tarik (tensile strength), kuat tusuk (puncture strength), persen pemanjangan (elongation to break) dan elastisitas (elastic/young modulus).  Parameter-parameter tersebut dapat menjelaskan bagaimana karakteristik mekanik dari bahan film yang berkaitan dengan struktur kimianya.  Selain itu, juga menunjukkan indikasi integrasi film pada kondisi tekanan (stress) yang terjadi selama proses pembentukan film.  Kuat tarik adalah gaya tarik maksimum yang dapat ditahan oleh film selama pengukuran berlansung.  Kuat tarik dipengaruhi oleh bahan pemlastis yang ditambahkan dalam proses pembuatan film..  Sedangkan kuat tusuk menggambarkan tusukan maksimum yang dapat ditahan oleh film.  Film dengan struktur yang kaku akan menghasilkan  nilai kuat tusuk yang tinggi atau tahan terhadap tusukan.  Adapun persen pemanjangan merupakan perubahan panjang maksimum film sebelum terputus.  Berlawanan dengan itu, adalah elastisitas akan semakin menurun jika seiring dengan meningkatnya jumlah bahan pemlastis dalam film..  Elastisitas merupakan ukuran dari  kekuatan film yang dihasilkan.

2. Permeabilitas
 Permeabilitas suatu film kemasan adalah kemampuan melewatkan partikel gas dan uap air pada suatu unit luasan bahan pada suatu kondisi tertentu..  Nilai permeabilitas sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor sifat kimia polimer,, struktur dasar polimer, sifat komponen permeant. Umumnya nilai permeabilitas film kemasan berguna untuk memperkirakan daya simpan produk yang dikemas.  Komponen kimia alamiah berperan penting dalam permeabilitas.  Polimer dengan polaritas tinggi (polisakarida dan protein) umumnya menghasilkan nilai permeabilitas uap air yang tinggi dan permeabilitas terhadap oksigen rendah. Hal ini disebabkan polimer mempunyai ikatan hidrogen yang besar. Sebaliknya, polimer kimia yang bersifat non polar (lipida) yang banyak mengandung gugus hidroksil mempunyai nilai permeabilitas uap air rendah dan permeabilitas oksigen yang tinggi, sehingga menjadi penahan air yang baik tetapi tidak efektif menahan gas.  Permeabilitas uap air merupakan suatu ukuan kerentanan suatu bahan untuk terjadinya proses penetrasi air.  Permeabilitas uap air dari suatu film kemasan adalah laju kecepatan atau transmisi uap air melalui suatu unit luasan bahan yang permukaannya rata dengan ketebalan tertentu, sebagai akibat dari suatu perbedaan unit tekanan uap antara dua permukaan pada kondisi suhu dan kelembaban tertentu. Sedangkan permeabilitas film kemasan terhadap gas-gas, penting diketahui terutama gas oksigen karena berhubungan dengan sifat  bahan  dikemas yang masih melakukan respirasi.

3. Biodegradabilitas  
 Alasan utama membuat kemasan plastik berbahan dasar bioplimer adalah sifat alamiahnya yang dapat hancur atau terdegradasi dengan mudah..  Umumnya setelah sampah kemasan dibuang ke tanah (landfill), akan mengalami proses penghancuran alami baik melalui proses fotodegradasi (cahaya matahari, katalisa), degradasi kimiawi (air, oksigen), biodegradasi (bakteri, jamur, alga, enzim) atau degradasi mekanik (angin, abrasi).  Proses-proses tersebut dapat berlansung secara tunggal maupun kombinasi.  Beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat biodegradabilitas kemasan setelah kontak dengan mikroorganisme, yakni : sifat hidrofobik, bahan aditif, proses produksi, struktur polimer, morfologi dan berat molekul bahan kemasan (Griffin, 1994).  Proses terjadinya biodegradasi film kemasan pada lingkungan alam dimulai dengan tahap degradasi kimia yaitu dengan proses oksidasi molekul, menghasilkan polimer dengan berat molekul yang rendah.  Proses berikutnya (secondary process) adalah  serangan mikroorganisme (bakteri, jamur dan alga) dan aktivitas enzim (intracellular, extracellular). Contoh mikroorganisme diantaranya bakteri phototrop (Rhodospirillium, Rhodopseudomonas, Chromatium, Thiocystis), pembentuk endospora (Bacillus, Clostridium), gram negatif aerob (Pseudomonas, Zoogloa, Azotobacter, Rhizobium), Actynomycetes, Alcaligenes (Griffin, 1994).  Umumnya kecepatan degradasi pada lingkungan limbah cair anaerob lebih besar dari pada limbah cair aerob,  kemudian dalam tanah dan air laut. 

2.5 Metode Uji  Biodegradabilitas

Faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam uji biodegradasi adalah :
a. jenis sampel (blow film, pulverize),
b. sifat (crystallinity),
c. jenis mikroorganisme (jamur, bakteri),
d.kondisi lingkungan ( inokulasi, kelembaban, temperatur, nutrisi, pertumbuhan mikroorganisme, penurunan berat sel) dan
e. sifat hydrofobik. 

Adapun cara penentuan degradasi yaitu mengukur perubahan sifat mekanis, jumlah gas CO2 yang dikeluarkan dan produk-produk yang dihasilkan. Berbagai metode pengujian biodegradasi  yang diadopsi oleh Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) telah digunakan secara khusus untuk menganalisis, mendeteksi dan mengukur konsumsi oksigen dan atau karbondioksida yang dikeluarkan dari metabolisme substrat.  Ada lima uji  saat ini yang dapat digunakan, yakni : modified AFNOR test (untuk dissolved organic carbon/DOC), modified Sturn test (produksi CO2), modified MITI test (konsumsi O2 dan penguraian substrat), Closed bottle test (konsumsi O2 ) dan modified OECD screening test (dissolved organic carbon/DOC) (Griffin, 1994).  Metode lain yang dikembangkan untuk menguji daya tahan plastik terhadap degradasii mikroorganisme, yakni : Petri dish screen (digunakan di USA/ASTM, Jerman/DIN, Prancis/AFNOR, Swiss/SN dan Standar Internasional/ISO (846), Environmental chamber method (pada kelembaban tinggi - 90 %), Soil burial tests (berdasarkan kontak dengan tanah).
Di Amerika Serikat, ASTM International adalah badan otoritatif untuk menentukan standar biodegradable. Subkomite khusus bertanggung jawab untuk mengawasi standar ini dan harus bertanggung jawab pada pada D20.96 Komite Lingkungan dan produk Plastik. Standar ASTM saat ini didefinisikan sebagai spesifikasi standar dan metode uji standar. Standar spesifikasi membuat keputusan lulus atau gagalnya produk dan sedangkan metode uji standar mengidentifikasi parameter pengujian khusus untuk memfasilitasi tes spesifik pada plastik biodegradable.
Saat ini, ada tiga seperti spesifikasi standar ASTM alamat yang kebanyakan plastik biodegradable jenis kompos lingkungan, yang jenisnya ASTM D6400-04 Standard Spesifikasi untuk Compostable Plastik, ASTM D6868 - 03 Standard Specification untuk Plastik Biodegradable digunakan sebagai pelapis pada kertas dan Compostable substrat lainnya dan ASTM D7081 - 05 Standard Spesifikasi untuk Non-Biodegradable Plastik apung di lingkungan Marinir.
Saat ini yang paling akurat metode uji standar lingkungan anaerobik adalah ASTM D5511 - 02 Standard Test Method untuk Menentukan biodegradasi anaerobik dari Bahan Plastik High-Solids Under. Metode uji standar lainnya untuk menguji dalam lingkungan anaerobik adalah ASTM D5526 - 94 (2002) Standar untuk Menentukan Metode Uji biodegradasi anaerobik dari Bahan Plastik Dipercepat Dalam Kondisi TPA. Tes ini telah terbukti sangat sulit untuk dilakukan.


2.6 Pengembangan ke Depan
Selama berabad-abad, plastik konvensional dituding sebagai biang pencemaran lingkungan karena tidak membusuk di dalam tanah. Namun, saat ini sudah dikembangkan plastik biodegradable yang ramah lingkungan karena mudah melebur di tanah.
Plastik yang dimaksud dibuat dari material yang disebut polyhydroxybutyrate atau disingkat PHB. Material tersebut berasal dari senyawa organik yang diproduksi bakteri, tidak seperti plastik biasa yang dibuat dari minyak bumi. PHB sudah banyak digunakan pada berbagai produk kemasan seperti botol minuman ringan hingga peralatan medis. Meskipun telah dikomersilkan sejak tahun 1980-an, penggunaannya masih terbatas karena sifatnya yang rapuh dan tidak dapat ditentukan masa urainya.
Sebagai gantinya, para ilmuwan di Unversitas Cornell, New York, AS telah merekayasa agar plastik PHB lebih kuat dan cepat terurai. Kuncinya berada pada partikel lempung berdiameter beberapa nanometer (sepermiliar meter).Partikel-partikel berukuran sangat kecil ini ditambahkan pada senyawa tersebut agar membantu proses kristalisasi yang memperkuat plastik. Di sisi lain, partikel-partikel tersebut juga bekerja sebagai katalis yang membantu degradasi saat di dalam tanah.
Plastik hibrida ini terbukti dapat terurai di ruang pengomposan dalam waktu tujuh minggu. Bahkan, kemampuan degradasinya dapat dikendalikan dengan mengatur komposisi partikel- partikel nano.
Upaya pengembangan teknologi kemasan plastik biodegrdable dewasa ini berkembang sangat pesat. Berbagai riset telah dilakukan di negara maju (Jerman, Prancis, Jepang, Korea, Amerika Serikat, Inggris dan Swiss) ditujukan untuk menggali berbagai potensi bahan baku  biopolimer. Di Jerman pengembangan untuk mendapatkan polimer biodegradable pada polyhydroxybutiyrat (PHB), Jepang (chitin dari kulit Crustaceae, zein dari jagung, pullulan) .   Aktivitas penelitian lain yang dilakukan adalah bagaimana mendapatkan kemasan thermoplastic degradable yang mempunyai masa pakai (lifetimes) yang relatif lebih lama dengan harga yang lebih murah.  Pengembangan lain yang sangat penting adalah perbaikan sifat-sifat fisik  dan penggunaan bahan pemlastis.
Penggunaan kemasan plastik biodegradable misalnya sebagai botol sampo,  dari bahan PHBV (produksi Wella AG dan ICI) dengan harga Rp. 75.000/kg (tahun1995), bahan celluloseacetat untuk barang-barang cetakan, harga Rp. 25.000/kg, campuran chitosan dengan cellulosa (di Jepang) sebagai pelindung terhadap oksigen, harga  Rp.15.000/kg dan pullulan (di Jepang) sebagai kemasan pangan beku (mentega, keju) dengan harga Rp.60.000 sampai Rp.70.000,-. Kemasan plastik biodegradable ini penggunaannya masih terbatas pada produk farmasi, kosmetik dan container.
Kendala utama yang dihadapi dalam pemasaran kemasan ini adalah harganya yang relatif tinggi dibandingkan film kemasan PE.  Sebagai perbandingan  untuk PHBV sekitar US$ 8 – 10/lb, sedangkan untuk film PE hanya US$ 0.30 – 0.45/lb.  Biaya produksi yang tinggi berasal dari komponen bahan baku (sumber karbon), proses fermentasi (isolasi dan purifikasi polimer) dan investasi modal.   Upaya untuk menekan harga tersebut adalah menggunakan substrat dari methanol, molasses dan hemicellulose hydrolysate (Griffin, 1994). 
Di Indonesia penelitian dan pengembangan teknologi kemasan plastik biodegradable masih sangat terbatas. Hal ini terjadi karena selain kemampuan sumber daya manusia dalam  penguasaan ilmu dan teknologi bahan, juga dukungan dana penelitian yang terbatas.  Dipahami bahwa penelitian dalam bidang ilmu dasar memerlukan waktu lama dan dana yang besar.  Sebenarnya prospek pengembangan biopolimer untuk kemasan plastik biodegradable di Indonesia sangat potensial.  Alasan ini didukung oleh  adanya sumber daya alam, khususnya hasil pertanian yang melimpah dan dapat diperoleh sepanjang tahun. Berbagai hasil pertanian yang potensial untuk dikembangkan menjadi biopolimer adalah jagung, sagu, kacang kedele, kentang, tepung tapioka, ubi kayu (nabati) dan chitin dari kulit udang (hewani) dan lain sebagainya.
Kekayaan akan sumber bahan dasar seperti tersebut di atas, justru sebaliknya menjadi persoalan potensial yang serius pada negara-negara yang telah maju dan menguasai ilmu dan teknologi kemasan biodegrdable, khususnya di Jerman. Negara tersebut dengan penguasaan IPTEK yang tinggi bidang teknologi kemasan, merasa khawatir kekurangan sumber bahan dasar (raw materials) dan akan menjadi sangat tergantung pada negara yang kaya akan sumber daya alam. 
Berbagai peneliti telah melakukan penilaian siklus hidup yang luas dari polimer biodegradable untuk menentukan apakah material ini energi lebih efisien daripada polimer yang dibuat oleh konvensional bahan bakar berbasis fosil berarti. Penelitian yang dilakukan oleh Gerngross,memperkirakan bahwa bahan bakar fosil energi yang dibutuhkan untuk menghasilkan satu kilogram polyhydroxyalkanoate (PHA) adalah 50,4 MJ / kg, yang bertepatan dengan perkiraan lain oleh Akiyama,, yang memperkirakan nilai antara 50-59 MJ / kg. Polylactide (PLA) diperkirakan memiliki energi bahan bakar fosil 54-56,7 biaya dari dua sumber, namun perkembangan terakhir di produksi komersial TPR oleh beberapa “Nature Works Inc” telah menghilangkan ketergantungan energi berbasis bahan bakar fosil dengan menggantikan dengan tenaga angin dan biomas-driven strategi. Mereka melaporkan kilogram membuat PLA dengan hanya 27,2 MJ bahan bakar fosil berbasis energi dan mengantisipasi bahwa jumlah ini akan turun menjadi 16,6 MJ / kg pada tanaman generasi berikutnya. Sebaliknya, polipropilen dan polietilen densitas tinggi memerlukan 85,9 dan 73,7 MJ / kg masing-masing, tetapi nilai-nilai ini termasuk energi tertanam bahan baku karena didasarkan pada bahan bakar fosil.
Gerngross melaporkan total 2,65 setara energi bahan bakar fosil (FFE) yang diperlukan untuk menghasilkan satu kilogram PHA, sementara polypropylene hanya membutuhkan 2,2 kg FFE. Gerngross menilai bahwa keputusan untuk melangkah maju dengan polimer biodegradable alternatif perlu mempertimbangkan prioritas masyarakat yang berkaitan dengan energi, lingkungan, dan biaya ekonomi. Selain itu, penting untuk menyadari pembuatan teknologi alternatif.
Teknologi untuk menghasilkan PHA, misalnya, masih dalam pengembangan sekarang, dan konsumsi energi dapat lebih dikurangi dengan menghilangkan langkah fermentasi, atau dengan memanfaatkan limbah sebagai bahan baku makanan. Penggunaan alternatif selain tanaman jagung, seperti gula tebu dari Brazil, diharapkan kebutuhan energi lebih rendah, pembuatan PHA oleh fermentasi di Brazil mendapt konsumsi energi yang menguntungkan karena skemanya dimana bagasse digunakan sebagai sumber energi terbarukan.
Banyak polimer biodegradable polimer yang berasal dari sumber daya terbarukan (misalnya, pati-based, PHA, PLA) yang juga bersaing dengan produksi pangan, sebagai bahan baku utama saat ini adalah jagung. Bagi AS untuk memenuhi output saat ini produksi plastik dengan BPS, maka diperlukan 1,62 meter persegi per kilogram diproduksi. Sementara kebutuhan ruang ini bisa layak, dan itu selalu penting untuk mempertimbangkan berapa banyak dampak produksi skala besar ini karena bisa saja harga makanan dan biaya kesempatan menggunakan tanah di versus dengan mode alternatif ini.

  
BAB 3. PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Plastik biodegredable adalah salah satu jenis plastik yang dapat diuraikan kembali oleh lingkungan. Polimer biodegradable adalah molekul-molekul besar (macromolecules) yang dapat dihancurkan atau diuraikan oleh mikroorganisme, khususnya bakteri dan jamur.
Alam sebagai penghasil polimer terbesar memberikan petunjuk bagaimana mensintesis biopolimer. Alam menunjukkan bahwa ikatan-ikatan asetal pada kanji (starch) dan selulosa, ikatan amida pada peptida dan protein, serta ikatan ester pada poli (hidroksi fatty acids) sangat mudah untuk diuraikan, sedangkan ikatan karbon-karbon pada lignin dan karet alam sulit untuk diuraikan.
Keberhasilan suatu proses pembuatan film kemasan plastik biodegradable dapat dilihat dari karakteristik film yang dihasilkan. Karakteristik film yang dapat diuji adalah karakteristik mekanik, permeabilitas dan nilai biodegradabilitasnya.  Alasan utama membuat kemasan plastik berbahan dasar bioplimer adalah sifat alamiahnya yang dapat hancur atau terdegradasi dengan mudah..  Umumnya setelah sampah kemasan dibuang ke tanah (landfill), akan mengalami proses penghancuran alami baik melalui proses fotodegradasi (cahaya matahari, katalisa), degradasi kimiawi (air, oksigen), biodegradasi (bakteri, jamur, alga, enzim) atau degradasi mekanik (angin, abrasi).
Plastik yang dimaksud dibuat dari material yang disebut polyhydroxybutyrate atau disingkat PHB. Material tersebut berasal dari senyawa organik yang diproduksi bakteri, tidak seperti plastik biasa yang dibuat dari minyak bumi. PHB sudah banyak digunakan pada berbagai produk kemasan seperti botol minuman ringan hingga peralatan medis.
Di Indonesia penelitian dan pengembangan teknologi kemasan plastik biodegradable masih sangat terbatas. Hal ini terjadi karena selain kemampuan sumber daya manusia dalam  penguasaan ilmu dan teknologi bahan, juga dukungan dana penelitian yang terbatas.  Dipahami bahwa penelitian dalam bidang ilmu dasar memerlukan waktu lama dan dana yang besar.  Sebenarnya prospek pengembangan biopolimer untuk kemasan plastik biodegradable di Indonesia sangat potensial.  Alasan ini didukung oleh  adanya sumber daya alam, khususnya hasil pertanian yang melimpah dan dapat diperoleh sepanjang tahun. Berbagai hasil pertanian yang potensial untuk dikembangkan menjadi biopolimer adalah jagung, sagu, kacang kedele, kentang, tepung tapioka, ubi kayu (nabati) dan chitin dari kulit udang (hewani) dan lain sebagainya.

3.2 Saran
Makalah ini masih jauh dari unsur kesempurnaan, maka dari itu mohon kritik dan saran dari berbagai pihak. Kurangnya jumlah referensi dan lainnya menyebabkan kurang detailnya makalah tentang plastik biodegredable. Plastik yang sekarang pada umumnya adalah plastik konvensional yang sulit terdegradasi oleh lingkungan diharapkan cepat diganti dengan plastik yang ramah lingkungan seperti plastik biodegredable. Apalagi sekarang polusi di bumi telah meningkat dan menyebabkan global warming. Tak ada gading yang tak retak, semua pasti ada kesalahan. Semoga proses pembelajaran ini dapat menjadi acuan untuk menuju yang lebih baik lagi.






DAFTAR PUSTAKA

Argos, P., Pederson, K., Marks, M.D., and Larkins, B.A. 1982.  A structural model for maize zein proteins. J. Biol. Chem. 257 (17): 9984-9990.

Frinault, A., D.J. Gallant, B. Bouchet and J.P. Dumont. 1997.  Preparation of casein film by a modified wet spinning process. J. of Food Science 62 (4): 744-747

Gennadios, A., McHugh, T.H., Weller, C.L., and Krochta,. J.M. 1994.  Edible coating and film based on protein. In Edible coating and film to improve food quality; Krochta, J.M., Baldwin, E.A., Nisperros-Carriedo, N., Eds.; Technomic Pub.: Lancaster, PA; pp 201-278.

Isobe, S. 1999.  Properties of plasticized-zein film as affected by plasticier treatments. In Formula dan rekayasa proses pembuatan biodegradable film dari zein jagung; Paramawati, R.: PPS – IPB, Bogor.

Madeka, H., and Kokini, J.L. 1996.  Effect od glass transition and cross-lingking on rheological properties of zein: Development of preliminary state diagram. Cereal Chem. (73): 433-438.

Seal, K.J. 1994.  Test methods and standards for biodegradable plastic. In: . Chemistry and technology of biodegradable polymer: Griffin, G.J.L.  Blackie Academic and Proffesional, Chapman and Hall.





































Tidak ada komentar:

Posting Komentar